4/5
Based on Book
Drama
Indonesia
Omnibus
Romance
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
RectoVerso
Dewi Lestari (atau dikenal dengan
nama pena Dee) nampaknya sedang memanen kerja kerasnya menulis novel dan
cerpen selama ini dimana satu demi satu karyanya diangkat ke layar lebar setahun
belakangan ini. Baru saja menuai sukses Perahu
Kertas yang sampai dipecah menjadi dua bagian, kini giliran novelet RectoVerso, dan siap rilis Maret
mendatang, Madre. Tentu saja ini tak
lepas dari kualitas sastra populer yang ditulisnya sangat menonjol dibanding
penulis-penulis lokal lain serta trend film yang diangkat dari novel
best-seller.
RectoVerso merupakan omnibus interwoven, omnibus dimana semua
segmennya menyatu seolah-olah satu kesatuan cerita yang ditampilkan saling
bergantian hingga mencapai klimaksnya bersama-sama. Contohnya Dilema, Kuldesak, Love, Valentine’s Day, New Year’s Eve, dan Love
Actually. Sebenarnya ada keuntungan dan kerugian tersendiri menggunakan
teknik seperti ini jika tidak ditangani (terutama diedit) dengan hati-hati. Keuntungannya,
kualitas per segmen mampu tampak lebih merata karena saling menutupi. Emosi
penonton pun bisa ter-manage dengan lebih baik ketimbang harus menetralkan
kembali setelah mencapai klimaks di akhir segmen sebelumnya. Namun kerugiannya
jika tidak diedit dengan baik, penonton bisa merasa bingung dengan cukup
banyaknya kisah yang diceritakan terpenggal-penggal.
Untungnya RectoVerso (RV) menggaet editor Cesa David Luckmansyah yang sudah
tak perlu diragukan lagi kehandalan dalam merangkai adegan. Alhasil RV tampil
sebagai omnibus yang tak hanya nyaman diikuti namun juga berhasil membangun
emosi tiap segmennya dengan sangat baik dan menyatu sempurna. Ada satu segmen
yang sebenarnya melibatkan rentang waktu yang cukup panjang, yakni Cicak di Dinding, yang menjadi agak
membingungkan dan pada akhirnya mempengaruhi penokohan salah satu karakter
kuncinya, Saras (diperankan oleh Sophia Latjuba). Tetapi dengan segala
kompensasi positifnya, bagi saya hal ini masih bisa ditolerir.
Ada lima segmen yang diangkat
dari 11 kisah dari bukunya, yakni Malaikat
Juga Tahu, Curhat buat Sahabat, Firasat, Hanya Isyarat, dan Cicak di
Dinding dimana kesemuanya mengisyaratkan satu benang merah : cinta yang tak
terucap. Kelimanya digarap oleh
sutradara-sutradara wanita muda yang selama ini kita kenal di depan layar, ada Marcella
Zallianty, Rachel Maryam, Olga Lidya, Cathy Sharon, dan Happy Salma. Siapa
sangka rupanya mereka berlima punya bakat yang cukup besar dalam mengarahkan
adegan, terlepas dari materi dasar cerita yang memang sudah bagus.
Tiap segmen yang ditampilkan
memang sengaja tidak memberikan konklusi jelas, sehingga mungkin akan membuat
penonton yang lebih menyukai ending jelas-sejelas-jelas-nya agak kecewa. Namun
di situlah makna dari RV. Ia tidak berusaha memberikan jawaban atau mengarahkan
penonton. Ia lebih mengajak untuk merasakan apa yang dirasakan para karakternya
sekaligus kembali mempertanyakan makna dari tiap segmen kepada penonton. Jadi
yang menjadi pertanyaan sebenarnya bukan segmen yang mana yang paling bagus,
tetapi segmen mana yang paling mengena bagi penonton sesuai dengan pengalaman
pribadi masing-masing. Yes, RectoVerso adalah
film yang bisa jadi sangat personal bagi tiap penonton dengan penggalian emosi
yang maksimal dari tiap segmennya.
The Casts
Kekuatan yang paling menonjol dari RV selain materi ceritanya adalah kekuatan akting dari jajaran aktor all star yang dipasang di sini. Siapa saja tentu akan dengan mudah terperanjat oleh penampilan Lukman Sardi yang total memerankan tokoh Abang, seorang penderita autisme. It’s probably his best performance in a movie among all extraordinary performances he’s ever played. Di segmen yang sama, Prisia Nasution dan terutama Dewi Irawan juga tak kalah mengiris hati.
Acha Septriasa yang semakin hari
semakin matang kemampuan aktingnya tampil lepas dan sangat baik di sini. Meski
lawan mainnya, Indra Birowo terasa agak miscast, namun keduanya mampu
menghadirkan chemistry yang cukup kuat dan nyata.
Di segmen Cicak di Dinding, Sophia Latjuba dan Yama Carlos menunjukkan
chemistry yang sangat kuat antara love dan lust-nya. Come back yang baik untuk
Sophia Latjuba (atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Sophia Mueller).
Amanda Soekasah yang baru saja
kita lihat aktingnya sebagai penulis Zara Zettira di Loe Gue End tampil cukup baik di segmen Hanya Isyarat meski ada beberapa dialog
puitis yang seharusnya dibawakan sebagai dialog sehari-hari namun terdengar
seperti membaca sajak. Sementara Fauzi Baadilla dan pendatang baru Hamish Daud
cukup menghidupkan peran masing-masing meski porsinya memang tak begitu banyak.
Terakhir, saya kurang suka
penampilan Dwi Sasono dan Asmirandah di segmen Firasat yang membawakan peran masing-masing terlalu melodrama ala
sinetron. Cara Dwi Sasono membawakan dialog puitisnya saja sudah terlalu
dibuat-buat. Untung saja penampilan natural dari Widyawati mampu mengcover
segmen ini dengan baik sehingga tidak jatuh begitu jauh dibandingkan
segmen-segmen lainnya.
Technical
Selain editing yang patut
diacungi jempol, tidak ada kendala berarti untuk teknisnya. Seperti layaknya
film-film Indonesia lain yang unggul di gambar (sinematografi), penata gambar
Yadi Sugandi memberikan kemampuan terbaiknya dalam menghadirkan gambar-gambar
serta warna yang memukau. Didukung pula oleh desain produksi, mulai dari
setting lokasi, kostum, hingga properti yang ditata dengan sangat baik dan
indah.
Score dan lagu-lagu soundtrack
yang pada dasarnya sudah ada melengkapi novelnya dibawakan ulang oleh
musisi-musisi papan atas negeri ini dengan sangat baik dan memperkuat emosi
yang telah tersampaikan dengan baik oleh gambarnya. Sebut saja Glenn Fredly
yang membawakan Malaikat Juga Tahu,
Dira Sugandi dengan Cicak di Dinding,
Raisa dengan Firasat, Acha Septriasa
dan Tohpati dengan Curhat buat Sahabat,
dan Drew dengan Hanya Isyarat. Jika penggemar
Dewi Lestari sebagai musisi, tentu saja soundtrack-soundtrack ini wajib menjadi
koleksi Anda.
The Essence
RV mengajak penonton untuk merasakan
cinta tanpa perlu terucap melalui segmen-segmen yang memiliki cara dan pesan
cinta yang berbeda-beda. Feel it and discover the similar signs in our life.
They who will enjoy this the most
- Penggemar novel dan novelet karya Dewi Lestari
- Penikmat film-film romantis terutama yang menyayat hati
- Penonton yang belajar untuk merasakan cinta tak terucap di sekitarnya