4.5/5
Action
Adventure
Arthouse
Awards winner
Blaxploitation
Box Office
Cult
Drama
Gore
Oscar 2013
Spaghetti Western
The Jose Movie Review
Tribute
Western
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Django Unchained
Overview
Saya rasa saya tidak perlu lagi
mendeklarasikan betapa nge-fans-nya saya dengan sutradara Quentin Tarantino.
Maka tak heran jika karya terbarunya ini menjadi film yang paling saya nantikan
di tahun 2012, melebihi franchise-franchise besar macam The Avengers maupun The Dark
Knight Rises. Secara garis besar jika Anda menyukai formula-formula khas
Tarantino, maka dengan mudah Anda menikmati film ke-8-nya ini.
Semua yang Anda harapkan dari
film-film Tarantino tersaji lengkap di Django
Unchained (DU), masterpiece “Revenge is a dish best served cold” dengan
kemasan spaghetti western. Jika Anda jeli, sebenarnya film-film Tarantino tak
jauh-jauh dari tema balas dendam. Namun berkat kecerdasannya meramu skrip,
dialog, serta menjaga pace dengan baik sehingga tidak terasa membosankan meski
durasinya di atas rata-rata dan kerap bertele-tele, setiap karyanya memiliki
kekhasan tersendiri dan selalu menjadi semacam cult modern. Bagi yang belum
akrab dengan karya-karya Tarantino, DU bisa jadi pengalaman pertama yang tepat
sebelum menyaksikan karya-karya sebelumnya seperti Reservoir Dogs, Jackie Brown,
Pulp Fiction, Kill Bill vol. 1 dan 2, Death
Proof, dan Inglourious Basterds.
Dari DU saya mencoba menganalisa
apa yang menjadi kelebihan karya-karyanya sehingga selalu tampak outstanding
meski dengan premise sederhana. Jawabannya: ia tahu persis topik yang membuat
penonton tertarik menyimak perbincangan-perbincangan panjang dengan durasi dan
intensitas yang akurat. Lantas ia tahu pula apa yang membuat penonton gregetan
hingga bersorak kegirangan dengan apa yang tersaji di layar. He’s very good at
it. Formula sama yang mendefinisikan pengalaman sinematik sebenarnya, yang
membuat film-film klasik masih mampu memikat lintas generasi hingga kini. Tak
ketinggalan desain karakter-karakter iconic yang applicable untuk Halloween dan
quote-quote yang terdengar keren untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Formula yang berhasil mengantarkan film-filmnya menjadi cult classic berkelas
secara instan meski dengan elemen-elemen nyeleneh ala film kelas B era 80-an
itu. Toh film-filmnya yang jahil dan
kurang ajar terhadap materi-materi aslinya tersebut berhasil membuat saya
berharap banyak peristiwa bersejarah terjadi persis seperti yang saya tonton di
layar.
Begitu pula dengan DU. Hanya saja
dibandingkan karya-karya sebelumnya, DU terasa sedikit di bawah kualitas
Tarantino. Sama sekali tidak buruk, namun DU tak memberikan cineorgasm sebesar,
misalnya saat saya menyaksikan Inglorious
Basterds (IB) yang menurut saya adalah film terbaik Tarantino. DU masih
memberikan klimaks-klimaks kecil di setiap babaknya dan lebih dari cukup untuk
membuat saya bersorak-sorai. Namun hingga akhir film “kadar” klimaksnya nyaris
sama. Bandingkan dengan IB yang klimaks-klimaksnya terus meningkat hingga
ending yang sangat luar biasa dan terus membekas dalam ingatan saya. Bisa jadi
pula faktor saya yang mulai bisa membaca polanya sehingga sedikit banyak mampu
menebak kelanjutannya dengan mudah meski tetap saja membuat saya excited.
Other than that, DU masih sangat
menghibur dengan kecerdasan-kecerdasan dialog, referensi menarik (mulai
mitologi Jerman, fakta tentang penulis kisah The Three Musketeers, Alexandre Dumas, hingga anekdot medis tentang perbedaan tengkorak ras negroid),
humor yang benar-benar lucu, dan action gore-fest bertubi-tubi yang membuat
fansnya bersorak-sorai.
The Casts
Christoph Waltz rupanya mulai
menjadi aktor favorit Tarantino dan itu memang beralasan. Penampilannya sebagai
bounty hunter mantan dokter gigi bernama Dr. King Schultz memang berbeda jauh
dengan Lt. Hans Landa di IB, namun keduanya memiliki kharisma tersendiri yang
sama kuatnya. Tak heran Academy kembali mengganjarnya nominasi Best Actor in
Supporting Role untuk perannya di sini.
Jamie Foxx selaku pengisi peran
utama cukup berhasil menghidupkan karakter Django Freeman sehingga tampak dan
terdengar keren meski tak se-iconic karakter-karakter utama di film Tarantino,
seperti misalnya The Bride (Kill Bill).
Sekedar meracau, untung saja kerja sama barter Tarantino dengan RZA di The Man with the Iron Fists hanya
sebatas mengisi soundtrack, bukan sampai RZA yang mengisi karakter utama yang
bisa-bisa merusak segalanya.
Leonardo DiCaprio yang notabene
jarang mengisi peran antagonis tampil maksimal pula di sini. Sisi terbengisnya
sangat terasa dan terlihat di sini. Kehadiran serta gerak-geriknya menimbulkan
teror tersendiri bagi penonton.
Di lini pemeran pendukung, Samuel
L. Jackson (yang juga menjadi aktor langganan Tarantino) tampil paling
mengesankan berkat karakternya yang unik; seorang kulit hitam yang justru
menyiksa sesama rasnya. Karakter yang menarik untuk dianalisa dan dibawakan
dengan sangat iconic pula oleh Jackson. Terakhir, Kerry Washington dengan
penampilannya yang tak banyak mampu menyentuh sekaligus membuat penonton
bersimpati padanya.
Technical
Anda merasa editingnya banyak
yang kasar (terutama lagu yang dipotong seenaknya)? Ah itu memang disengaja dan
sudah menjadi ciri khas film-filmnya, bersamaan dengan unsur-unsur vintage
seperti yang teraplikasi pada logo studio dan credit, serta playlist
soundtrack-nya yang lintas generasi maupun genre. Racikan nyelenehnya tetap
berhasil membuat Anda excited atau setidaknya membuat teriak spontan, “Anjrit,
Gokil!” bukan? Yah, itulah Quentin Tarantino. Daripada saya jelaskan di sini
mending Anda mengalaminya sendiri.
Sepeninggal Sally Menke, editor
langganan Tarantino yang seperti sudah paham betul selera Tarantino, editing DU
dikerjakan oleh mantan asisten Menke, Fred Raskin. Hasilnya memang tak jauh
berbeda, namun masih ada beberapa “ketidak-nyamanan”. Misalnya saja pada perpindahan
adegan flashback maupun perpindahan babak yang terasa tidak semulus atau
senyaman biasanya. Tapi… yah masih mengusung semangat Tarantino yang sama sih.
Jika Anda menemukan
properi-properti yang terasa misplace pada setting waktunya, ya harap maklum
saja. Let’s not make it a big deal. Anggap saja semua ini terjadi hanya di
dalam dunia imajinasi (liar) seorang Quentin Tarantino, bukan dunia nyata.
Anyway, setting lokasi seperti rumah di Candyland dan clubhouse Cleopatra
tampak sangat indah sesuai dengan jamannya, lengkap dengan aneka perabotan dan
pernak-perniknya. Begitu pula tata kostum yang tergarap dengan sangat rapi,
memukau, dan penuh warna. Sungguh sebuah desain produksi yang keren.
The Essence
Saya menangkap penamaan
Candyland, karakter Calvin Candie, dan seorang dokter gigi merupakan sebuah
metafora dari cerita. Tema kebebasan (budak) mewarnai motif balas dendam yang
menjadi plot utama. Selain itu, karakter Django yang mendobrak anekdot Calvin
tentang “otak menghamba” kulit hitam, tak hanya dalam hal menembak ataupun
menyerang, namun juga dalam menjaga emosi dari pancingan musuh dan menyusun
strategi cerdas, menjadi sub-plot yang tak kalah menariknya.
They who will enjoy this the most
- Quentin Tarantino fans, for sure
- Penonton umum yang mulai bosan dengan formula mainstream Hollywood akhir-akhir ini dan butuh penyegaran
- Penikmat film dengan dialog-dialog cerdas
- Penonton yang menyukai ketegangan dibangun melalui dialog dan kharisma akting para karakternya
- Penggemar action gore
Academy Awards 2013 Nominees for :
- Best Achievement in Cinematography
- Best Achievement in Sound Editing
- Best Motion Picture of the Year
- Best Performance by an Actor in a Supporting Role
- Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen
Lihat data film ini di IMDb.