The Jose Movie Review
The Hobbit: An Unexpected Journey

Overview

Bagi beberapa orang The Lord of the Rings (LOTR) adalah salah satu trilogy epic terbesar sepanjang sejarah perfilman. Tak heran jika sudah punya fanbase fanatik yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan dukungan artistik, special effect, dan naskah adaptasi yang terasa paling pas (bahkan tidak sedikit yang menganggap versi filmnya lebih baik dan lebih nyaman diikuti dibanding versi novel yang terlalu detail menggambarkan “dunia”-nya), segala kesuksesan LOTR jelas sayang untuk disudahi begitu saja. Apalagi J.R.R. Tolkien, sang penulis novel jelas-jelas pernah menulis novel prekuel (atau lebih tepat disebut spin-off) bertajuk The Hobbit.
Mengikuti tren adaptasi sebuah novel menjadi lebih dari satu bagian film seperti seri terakhir Harry Potter dan Twilight Saga, The Hobbit malah membagi novelnya ke dalam tiga judul film. Entah bagaimana jadinya kelak karena saya sendiri bukan pembaca novelnya dan yang sudah dilepas ke pasaran baru satu judul. Akan lebih fair jika kita tidak men-judge terlebih dahulu. Kita lihat saja dulu bagaimana bagian pertamanya ini.
Bagi yang pernah membaca versi novel atau setidaknya pernah mendengar premise dasar spin-off ini, tentu menyadari bahwa The Hobbit memiliki cerita dengan skala yang lebih kecil ketimbang trilogi utamanya. Jadi saya rasa adalah hal bodoh jika membandingkan keduanya dari sudut ke-epic-an cerita. At some point, saya justru menghargai cerita yang berbeda namun masih memiliki logisme yang runtut dengan trilogi utamanya meski tidak sama epik, ketimbang dipaksakan untuk lebih epik namun malah timpang di mana-mana. Bukannya apa, penonton dan kebanyakan kritikus jaman sekarang kan lebih suka kadar yang lebih ketimbang pendahulunya untuk memberikan label “lebih baik” kepada sebuah film dan mengabaikan aspek lain yang lebih penting. Misalnya aksi yang lebih brutal, efek yang lebih banyak, dan lain-lain. So, sebelum cerewet mengomentari The Hobbit selepas menyaksikannya, ada baiknya Anda memahami konsep cerita The Hobbit yang jelas-jelas tidak memiliki kaitan cerita secara langsung dengan trilogi utama LOTR. That's why menurut saya istilah “spin-off” lebih tepat disematkan untuk The Hobbit ketimbang “prekuel” yang semata-mata hanya berdasarkan urutan timeline cerita.
So yes, The Hobbit memang punya skala cerita yang lebih kecil. Jika trilogi utama LOTR melibatkan (serta mempengaruhi) semua kerajaan yang ada di Middle-Earth, maka The Hobbit terfokus pada perebutan kembali kerajaan kurcaci (dwarf) bernama Erebor yang dikuasai oleh seekor naga tamak bernama Smaug. Dari peristiwa inilah kita diperkenalkan oleh karakter kunci yang menghubungkan cerita The Hobbit dengan trilogi utama LOTR : Bilbo Baggins. He's the Frodo of these new trilogy. Selain karakter-karakter baru, saya merasakan aroma nostalgia yang menyenangkan ketika pertama kali terpana oleh visualisasi LOTR terutama Kerajaan Rivendell yang menjadi favorit saya, lengkap dengan Elrond dan Galadriel. Kehadiran Gollum/Smeagol pun semakin menambah kegirangan saya akan trilogi yang ini.
Mengadopsi gaya penceritaan yang tidak jauh berbeda dengan trilogi utama LOTR, sutradara Peter Jackson meng-improve alur The Hobbit menjadi lebih lugas dan lebih enak dinikmati tanpa mengabaikan pengembangan karakter-karakter yang jumlahnya tidak sedikit. Kalaupun ada adegan-adegan yang kurang relevan dengan alur utama, jatuhnya masih menghibur. Contohnya nyanyian Things Bilbo Hates yang menjadi adegan favorit saya. At the end, memang hanya beberapa karakter yang terasa menonjol dan berkesan, seperti Bilbo Baggins, Gandalf, Thorin, serta tentu saja si kembar Fili dan Kili. Sisanya tampaknya harus menantikan kemunculan mereka di installment-installment berikutnya untuk bisa se-memorable karakter-karakter pendukung LOTR lainnya. Durasi 169 menit yang jelas lebih pendek ketimbang installment-installment trilogi utama LOTR pun tidak terasa melelahkan sama sekali. A very well done, Peter Jackson!

The Casts

Aktor Inggris Martin Freeman, pemeran Dr. Watson di serial TV Sherlock, berhasil menghidupkan karakter utama, Bilbo Baggins sehingga tampak menarik, melebihi Frodo di trilogi utama LOTR. Sir Ian McKellen masih melanjutkan kualitas akting yang sama sebagai Gandalf. Begitu pula dengan Cate Blanchett (Galadriel), Hugo Weaving (Elrond), dan Christopher Lee (Saruman) yang tampil kembali.
Di lini pemain baru, Richard Armitage (Thorin) mampu menghadirkan karakter hero (sekaligus pemimpin) yang cukup kharismatik, meski masih belum setingkat karakter Faramir. Masih ada banyak waktu untuk menancapkan image yang kuat di installment-installment selanjutnya. Semoga saja.

Technical

Masih perlukah saya mengisi segmen ini? Semuanya tampil semaksimal mungkin. Desain produksi yang meliputi set lokasi, kostum, dan prop, masih sekualitas LOTR yang sangat detail dan memanjakan mata. Sementara special effect yang terasa sekali mengalami banyak perkembangan, terutama animasi motion capture yang digunakan untuk menghidupkan karakter Gollum/Smeagol, jauh lebih banyak “pamer” ekspresi wajah.
Jika Anda tertarik dengan versi 3D maupun IMAX 3D-nya (gaya, mentang-mentang nonton di IMAX 3D... :p), go for it. IMAX menampilkan dunia yang lebih hidup dan nyata. Efek depth of field-nya lumayan terasa dan beberapa gimmick pop-out yang menghibur, seperti burung-burung dan kelelawar yang beterbangan, bebatuan yang berjatuhan, serta serangan Orc dan Warg yang melaju.
Teknologi HFR (High Frame Rate) yang menghadirkan 48 gambar perdetik (bandingkan frame rate standard selama ini yang antara 24.97 atau 30 fps) menimbulkan berbagai pendapat, sama seperti ketika teknologi 3D mulai merebak beberapa tahun lalu. Ada mata penonton yang bisa bertahan, ada pula yang lantas pusing karena terasa terlalu tajam. Bagi saya yang termasuk mata rata-rata sih sudah fine-fine saja dengan frame rate 24.97.

Ternyata 48 fps memberikan keunikan pengalaman visual tersendiri. Memang awalnya agak aneh, seperti melihat cuplikan clip di display toko LED yang warnanya serba tajam. Beberapa adegan juga terasa bergerak terlalu cepat seolah diputar dengan speed 2x-4x. Jika Anda merasa mengantuk, itu bukan karena filmnya yang membosankan, tetapi mungkin saja efek dari 48 fps yang jujur memang lebih melelahkan mata, tetapi setelah mata mulai terbiasa, efek tersebut sedikit demi sedikit berkurang. Pengalaman sinematik klasik tidak begitu terasa, namun tergantikan oleh pengalaman visualisasi real yang berbeda. HFR 48 fps sangat membantu improve efek 3D-nya yang jadi semakin hidup dan lebih eye-popping. Kedua format, IMAX dan 3D HFR menawarkan sensasi visual yang berbeda dan memiliki keunggulan masing-masing. Namun jika saya disuruh memilih salah satu yang lebih saya sukai, saya akan memilih 3D HFR. Toh, The Hobbit tidak dishoot dengan kamera IMAX.

The Essence

Menarik sekali masing-masing bangsa yang terlibat di sini memiliki esensi dari cerita The Hobbit. Bangsa yang selama ini dipandang sebelah mata dan lemah akhirnya berhasil keluar dari zona nyamannya untuk bertualang dan membuktikan ketulusan hatinya. Sosok yang kuat, bijak, dan berkharisma pernah juga menggantungkan harapan pada orang lain dan justru menemukan harapan tersebut dari makhluk yang selama ini dianggap lemah. Begitu pula kaum yang merasa superior dan meremehkan/membenci kaum lainnya harus menyadari betapa salah pendapatnya selama ini.

Those who will enjoy this the most

  • Lord of the Rings fans who miss the Middle-Earth universe so much
  • General audiences who seek for a fantasy adventure film

Academy Awards 2013 Nominees for :

  • Best Achievement in Makeup and Hairstyling
  • Best Achievement in Production Design
  • Best Achievement in Visual Effects
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.