3D
4/5
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Drama
Fantasy
Franchise
HFR
High Frame Rate
Mythology
Oscar 2013
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Hobbit: An Unexpected Journey
Overview
Bagi
beberapa orang The Lord of the Rings
(LOTR) adalah salah satu trilogy epic terbesar sepanjang sejarah
perfilman. Tak heran jika sudah punya fanbase fanatik yang jumlahnya
tidak sedikit. Dengan dukungan artistik, special effect, dan naskah
adaptasi yang terasa paling pas (bahkan tidak sedikit yang menganggap
versi filmnya lebih baik dan lebih nyaman diikuti dibanding versi
novel yang terlalu detail menggambarkan “dunia”-nya), segala
kesuksesan LOTR jelas sayang untuk disudahi begitu saja. Apalagi
J.R.R. Tolkien, sang penulis novel jelas-jelas pernah menulis novel
prekuel (atau lebih tepat disebut spin-off) bertajuk The
Hobbit.
Mengikuti
tren adaptasi sebuah novel menjadi lebih dari satu bagian film
seperti seri terakhir Harry Potter
dan Twilight Saga, The
Hobbit malah membagi novelnya ke
dalam tiga judul film. Entah bagaimana jadinya kelak karena saya
sendiri bukan pembaca novelnya dan yang sudah dilepas ke pasaran baru
satu judul. Akan lebih fair jika kita tidak men-judge terlebih
dahulu. Kita lihat saja dulu bagaimana bagian pertamanya ini.
Bagi
yang pernah membaca versi novel atau setidaknya pernah mendengar
premise dasar spin-off ini, tentu menyadari bahwa The
Hobbit memiliki cerita dengan
skala yang lebih kecil ketimbang trilogi utamanya. Jadi saya rasa
adalah hal bodoh jika membandingkan keduanya dari sudut ke-epic-an
cerita. At some point, saya justru menghargai cerita yang berbeda
namun masih memiliki logisme yang runtut dengan trilogi utamanya
meski tidak sama epik, ketimbang dipaksakan untuk lebih epik namun
malah timpang di mana-mana. Bukannya apa, penonton dan kebanyakan
kritikus jaman sekarang kan lebih suka kadar yang lebih ketimbang
pendahulunya untuk memberikan label “lebih baik” kepada sebuah
film dan mengabaikan aspek lain yang lebih penting. Misalnya aksi
yang lebih brutal, efek yang lebih banyak, dan lain-lain. So, sebelum
cerewet mengomentari The Hobbit
selepas menyaksikannya, ada baiknya Anda memahami konsep cerita The
Hobbit yang jelas-jelas tidak
memiliki kaitan cerita secara langsung dengan trilogi utama LOTR.
That's why menurut saya istilah “spin-off” lebih tepat disematkan
untuk The Hobbit ketimbang
“prekuel” yang semata-mata hanya berdasarkan urutan timeline
cerita.
So
yes, The Hobbit memang
punya skala cerita yang lebih kecil. Jika trilogi utama LOTR
melibatkan (serta mempengaruhi) semua kerajaan yang ada di
Middle-Earth, maka The Hobbit
terfokus pada perebutan kembali kerajaan kurcaci (dwarf) bernama
Erebor yang dikuasai oleh seekor naga tamak bernama Smaug. Dari
peristiwa inilah kita diperkenalkan oleh karakter kunci yang
menghubungkan cerita The Hobbit
dengan trilogi utama LOTR : Bilbo Baggins. He's the Frodo of these
new trilogy. Selain karakter-karakter baru, saya merasakan aroma
nostalgia yang menyenangkan ketika pertama kali terpana oleh
visualisasi LOTR terutama Kerajaan Rivendell yang menjadi favorit
saya, lengkap dengan Elrond dan Galadriel. Kehadiran Gollum/Smeagol
pun semakin menambah kegirangan saya akan trilogi yang ini.
Mengadopsi
gaya penceritaan yang tidak jauh berbeda dengan trilogi utama LOTR,
sutradara Peter Jackson meng-improve alur The Hobbit
menjadi lebih lugas dan lebih enak dinikmati tanpa mengabaikan
pengembangan karakter-karakter yang jumlahnya tidak sedikit. Kalaupun
ada adegan-adegan yang kurang relevan dengan alur utama, jatuhnya
masih menghibur. Contohnya nyanyian Things Bilbo Hates
yang menjadi adegan favorit saya. At the end, memang hanya beberapa
karakter yang terasa menonjol dan berkesan, seperti Bilbo Baggins,
Gandalf, Thorin, serta tentu saja si kembar Fili dan Kili. Sisanya
tampaknya harus menantikan kemunculan mereka di
installment-installment berikutnya untuk bisa se-memorable
karakter-karakter pendukung LOTR lainnya. Durasi 169 menit yang jelas
lebih pendek ketimbang installment-installment trilogi utama LOTR pun
tidak terasa melelahkan sama sekali. A very well done, Peter Jackson!
The Casts
Aktor
Inggris Martin Freeman, pemeran Dr. Watson di serial TV Sherlock,
berhasil menghidupkan karakter utama, Bilbo Baggins sehingga tampak
menarik, melebihi Frodo di trilogi utama LOTR. Sir Ian McKellen
masih melanjutkan kualitas akting yang sama sebagai Gandalf. Begitu
pula dengan Cate Blanchett (Galadriel), Hugo Weaving (Elrond), dan
Christopher Lee (Saruman) yang tampil kembali.
Di lini pemain baru, Richard Armitage (Thorin) mampu menghadirkan
karakter hero (sekaligus pemimpin) yang cukup kharismatik, meski masih
belum setingkat karakter Faramir. Masih ada banyak waktu untuk
menancapkan image yang kuat di installment-installment selanjutnya.
Semoga saja.
Technical
Masih perlukah saya mengisi segmen ini? Semuanya tampil semaksimal
mungkin. Desain produksi yang meliputi set lokasi, kostum, dan prop,
masih sekualitas LOTR yang sangat detail dan memanjakan mata.
Sementara special effect yang terasa sekali mengalami banyak
perkembangan, terutama animasi motion capture yang digunakan untuk
menghidupkan karakter Gollum/Smeagol, jauh lebih banyak “pamer”
ekspresi wajah.
Jika Anda tertarik dengan versi 3D maupun IMAX 3D-nya (gaya,
mentang-mentang nonton di IMAX 3D... :p), go for it. IMAX menampilkan
dunia yang lebih hidup dan nyata. Efek depth of field-nya lumayan
terasa dan beberapa gimmick pop-out yang menghibur, seperti
burung-burung dan kelelawar yang beterbangan, bebatuan yang berjatuhan, serta serangan Orc dan Warg
yang melaju.
Teknologi HFR (High Frame Rate) yang menghadirkan 48 gambar perdetik
(bandingkan frame rate standard selama ini yang antara 24.97 atau 30
fps) menimbulkan berbagai pendapat, sama seperti ketika teknologi 3D
mulai merebak beberapa tahun lalu. Ada mata penonton yang bisa
bertahan, ada pula yang lantas pusing karena terasa terlalu tajam.
Bagi saya yang termasuk mata rata-rata sih sudah fine-fine saja
dengan frame rate 24.97.
Ternyata 48 fps memberikan keunikan pengalaman visual tersendiri. Memang awalnya agak aneh, seperti melihat cuplikan clip di display toko LED yang warnanya serba tajam. Beberapa adegan juga terasa bergerak terlalu cepat seolah diputar dengan speed 2x-4x. Jika Anda merasa mengantuk, itu bukan karena filmnya yang membosankan, tetapi mungkin saja efek dari 48 fps yang jujur memang lebih melelahkan mata, tetapi setelah mata mulai terbiasa, efek tersebut sedikit demi sedikit berkurang. Pengalaman sinematik klasik tidak begitu terasa, namun tergantikan oleh pengalaman visualisasi real yang berbeda. HFR 48 fps sangat membantu improve efek 3D-nya yang jadi semakin hidup dan lebih eye-popping. Kedua format, IMAX dan 3D HFR menawarkan sensasi visual yang berbeda dan memiliki keunggulan masing-masing. Namun jika saya disuruh memilih salah satu yang lebih saya sukai, saya akan memilih 3D HFR. Toh, The Hobbit tidak dishoot dengan kamera IMAX.
Ternyata 48 fps memberikan keunikan pengalaman visual tersendiri. Memang awalnya agak aneh, seperti melihat cuplikan clip di display toko LED yang warnanya serba tajam. Beberapa adegan juga terasa bergerak terlalu cepat seolah diputar dengan speed 2x-4x. Jika Anda merasa mengantuk, itu bukan karena filmnya yang membosankan, tetapi mungkin saja efek dari 48 fps yang jujur memang lebih melelahkan mata, tetapi setelah mata mulai terbiasa, efek tersebut sedikit demi sedikit berkurang. Pengalaman sinematik klasik tidak begitu terasa, namun tergantikan oleh pengalaman visualisasi real yang berbeda. HFR 48 fps sangat membantu improve efek 3D-nya yang jadi semakin hidup dan lebih eye-popping. Kedua format, IMAX dan 3D HFR menawarkan sensasi visual yang berbeda dan memiliki keunggulan masing-masing. Namun jika saya disuruh memilih salah satu yang lebih saya sukai, saya akan memilih 3D HFR. Toh, The Hobbit tidak dishoot dengan kamera IMAX.
The Essence
Menarik sekali masing-masing bangsa yang terlibat di sini memiliki
esensi dari cerita The Hobbit. Bangsa yang selama ini dipandang sebelah mata dan lemah akhirnya
berhasil keluar dari zona nyamannya untuk bertualang dan membuktikan ketulusan hatinya. Sosok yang kuat, bijak, dan berkharisma pernah juga menggantungkan harapan pada orang lain dan justru menemukan harapan tersebut dari makhluk yang selama ini dianggap lemah. Begitu pula kaum yang merasa superior dan meremehkan/membenci kaum lainnya harus menyadari betapa salah pendapatnya selama ini.
Those who will enjoy this the most
- Lord of the Rings fans who miss the Middle-Earth universe so much
- General audiences who seek for a fantasy adventure film
Academy Awards 2013 Nominees for :
- Best Achievement in Makeup and Hairstyling
- Best Achievement in Production Design
- Best Achievement in Visual Effects
Lihat data film ini di IMDb.