The Jose Movie Review
Soegija

Overview

Setelah seminggu histeria Soegija akhirnya mereda juga. Banyaknya review negatif tidak menyurutkan rasa penasaran saya akan film terbaru Garin Nugroho ini karena saya yakin seorang Garin memiliki standard kualitas tersendiri dalam berkarya. Ternyata saya tidak salah, namun review-review negatif yang beredar pun ada benarnya juga.

Kebanyakan orang mungkin memiliki ekspektasi Soegija akan menjadi sebuah film biopic dimana perkembangan karakter utamanya menjadi fokus sepanjang durasi, mulai dari lahir, karya-karyanya, hingga kematiannya. Namun rupanya Garin tidak mengambil pola ini. Ia lebih tertarik menggunakan sudut pandang seorang Mgr. Soegijo untuk menceritakan kejadian demi kejadian yang terjadi di tanah air selama masa menjelang kemerdekaan hingga perebutan kembali tanah air dari Sekutu. Singkatnya, ia memvisualisasikan “buku harian” yang ditulis oleh Monseigneur. Suatu keputusan yang sah saja apabila ia tetap memberikan nafas semangat sang tokoh utama pada tiap kejadian yang terjadi di layar sehingga setidaknya penonton bisa mengenal dan terkesan dengan karakter Soegija secara utuh seusai menonton. Sayang, hal itu tidak terjadi. Hanya ada beberapa quote dari karakternya yang berkesan dan bermakna dalam. But that’s all. Justru adanya karakter penyiar radio keliling yang seolah menjadi “narator tambahan” terasa lebih dominan dalam menuturkan cerita, menutupi narator utama yang seharusnya berada di tangan karakter Soegija sendiri.

Sebagai pemanis cerita, dihadirkan karakter-karakter fiktif untuk merepresentasi golongan-golongan yang bergulat pada masa itu yang sebenarnya semuanya menarik untuk diikuti. Porsi mereka justru jauh lebih banyak ketimbang karakter Soegija sendiri. Banyak subplot menarik, seperti misalnya apa yang terjadi pada ibu Ling Ling, hubungan antara Mariyem dan Hendrick, pergulatan batin Nobuzuki, dan perkembangan karakter Robert. Namun sekali lagi naskah gagal untuk menanamkan kesan yang dalam dan menimbulkan simpati dari penonton kepada karakter-karakter yang ada. Adegan masing-masing karakter yang sepotong-sepotong memang masih mampu menyentuh penonton namun tidak secara utuh sepanjang film. Penyebabnya sama, setiap karakter tidak diberikan perkembangan yang cukup dalam dan berarti.

Jika hanya melihat film ini sebagai potongan-potongan adegan, bisa jadi malah lebih menarik ketimbang menyaksikannya secara utuh. Semua elemen teknis dan akting sudah sangat mendukung, namun gagal memberikan arti ketika dirangkai menjadi satu kesatuan. Tak heran jika lantas muncul gosip bahwa film Soegija yang kita tonton di bioskop sudah mengalami pemotongan oleh LSF dari durasinya yang sedianya sekitar 3 jam. Saya sih lebih percaya jika pihak pembuat film lah yang “bermain aman” dengan memutuskan untuk menghilangkan elemen-elemen utama cerita, terutama unsur semangat dan peran Gereja Katolik (termasuk peran karakter Soegija sendiri yang tidak bisa dilepaskan dengan semangat Gereja Katolik), demi menggenaralisasikan tema cerita yang “nasionalis” dan terlepas dari tuduhan Kristenisasi yang belakangan menjadi sangat sensitif. Sayang sih sebenarnya saya lebih suka jika penonton (terutama yang awam tentang Gereja Katolik) melalui film seperti ini bisa mengenal dan mengerti Gereja Katolik dan menyadari bahwa siapapun itu, termasuk Gereja Katolik memiliki peran juga dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Jika Islam menjelaskan tentang ajaran dan perannya bagi bangsa secara general lewat film-film seperti Sang Pencerah, kenapa agama lain harus takut untuk melakukan hal yang sama? Semoga di lain waktu, ketika sensitivitas antar umat beragama agama di negara ini menghilang, semuanya bisa memiliki keberanian untuk menyuarakan perannya bagi bangsa ini.

Saya yakin apabila film memasukkan adegan-adegan tambahan yang mampu menguatkan karakter-karakter yang ada, Soegija bisa menjadi film sejarah, biopic, sekaligus epic terbaik yang pernah dibuat Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin menjadi film pertama yang (akhirnya) lolos masuk nominasi Academy Awards. Semoga saja Garin punya banyak stock footage yang bisa dimasukkan dalam film ketika keadaan negara ini sudah lebih baik, atau segera mengambil gambar-gambar tambahan untuk merevisi versi yang sekarang. Harapan saya ini serius lho. Hanya penambahan adegan-adegan tersebut yang harus dilakukan untuk memperbaiki film ini menjadi mahakarya yang utuh dan sempurna.

The Casts

Kekuatan cast di sini menjadi salah satu kekuatan yang setidaknya berhasil membuat penonton tersentuh walau hanya dalam potongan-potongan adegan. Kesemuanya memiliki sumbangsih akting yang luar biasa. Saya tidak bisa berkomentar soal Nirwan Dewanto yang memerankan Soegija karena perannya yang memang tak banyak. Dari yang tampak di layar sih cukup kharismatik. Butet Kertaradjasa dengan celetukan-celetukan kocaknya yang tidak hanya berhasil menghidupkan suasana namun juga mampu menyampaikan pemikiran-pemikiran tersendiri, misalnya soal manusia yang utuh dan kebebasan.

Olga Lydia dan juga terutama Andrea Reva (pemeran Ling Ling) membuat penonton bersimpati melalui nasib mereka yang selalu dijarah oleh bangsa sendiri. Khusus untuk Reva, penampilan yang luar biasa dan mampu bikin merinding.

Annisa Hertami yang berperan sebagai Mariyem tak kalah mengundang simpati penonton. Adegan memandikan jenazah yang dilakoninya menjadi puncak pencurahan emosinya yang luar biasa.

Wouter Zweers, pemeran Robert, tentara Belanda yang bangga menjadi mesin perang, menjadi karakter antagonis yang tampak bengis. Tak banyak adegan yang menampilkannya namun memberikan kesan di tiap penampilannya. Begitu pula dengan Suzuki (pemeran Nobuzuki) dengan perannya sebagai penjajah Jepang yang bengis namun berhasil membangkitkan simpati penonton di beberapa adegan pentingnya.

Satu lagi karakter yang menurut saya paling menarik walau sebagian besar penonton malah menjadikannya bahan tertawaan; seorang remaja yang tidak bisa membaca namun memiliki jiwa rebel tinggi, mempertanyakan banyak hal di sekitarnya. Dengan senjata api diselipkan di bagian belakang celananya, ia menjadi representasi kebanyakan pemuda bangsa bahkan hingga saat ini. Sosok pemuda yang give up pada pendidikan dan lebih memilih untuk “gelut” (berkelahi) untuk membela haknya. Cermin buram namun nyata bangsa ini. Saya sama sekali tidak tertawa melihat tingkahnya di sini walaupun sebagian besar penonton tertawa terbahak-bahak. I think it’s our nation’s ironic. Pada adegan puncaknya, ia mengingatkan saya pada remaja biasa yang berhasil membunuh Khadafi. We think this type of people will be our scum of society, but we have to admit this kind of people are the ones having enough gut to make changes. Kredit tersendiri untuk munculnya karakter ini sekaligus pemerannya.

Technical

Secara teknis, satu kata… JUARA!!! Detail set, kostum, sinematografi, scoring, sound effect, semuanya kelas dunia. Bahkan jika tidak melihat cerita dan mendengarkan dialog bahasa Indonesianya, siapa saja akan mengira ini adalah film Hollywood kelas A. Pencapaian tertinggi film Indonesia so far. Dana yang mencapai dua belas milyar itu menjadi masuk akal melihat hasil detail teknisnya.

The Essence

Ada banyak esensi yang bisa ditarik, baik secara verbal (melalui dialog) maupun melalui adegan. Dari mulut Monseigneur sendiri mengingatkan tentang pentingnya fungsi kepemimpinan sebagai pemimpin, bukan hanya penguasa. Ia juga menjelaskan fungsi dan peran imam sebenarnya dalam masyarakat, serta juga keutuhan hidup manusia.

Dari karakter-karakter pendukung, saya paling terkesan dengan esensi yang dimunculkan dari karakter Nobuzuki dan Robert. Walau berada di pihak antagonis (baca : penjajah), keduanya menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak suka perang. Ada banyak hal yang memberatkan mereka untuk terlibat dalam perang. Tapi perang telah mengubah hidup mereka namun pada satu titik mereka diingatkan kembali tentang hal-hal lebih berharga yang mereka tinggalkan demi tugas perang.

Jelas humanity melalui berbagai sisi karakter menjadi headline yang ingin disampaikan Garin melalui karyanya kali ini. 

Lihat situs resmi film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.