Indonesia
The Jose State of Mind
Histeria Soegija
Histeria Soegija
(Sebuah essay opini, bukan review film)
Saya sangat senang ketika akhirnya film Soegija yang diarahkan oleh Garin Nugroho diputar di bioskop-bioskop tanah air dengan sambutan yang tergolong fantastis untuk ukuran film nasional. Sejak awal berita pembuatannya, saya sudah sangat excited untuk menyaksikannya. Namun semakin mendekati hari H peluncuran, saya semakin merasakan banyak ke-ilfill-an seputar film ini. Bukan soal filmnya sendiri tetapi mengenai sikap beberapa kelompok orang dalam menyikapinya. Persetan dengan provokasi via BBM tentang boikot karena bagi saya sudah menjadi modus basi (that's why I hate BB so much because people making it to stupify themselves). Which smart people will eat that bait anyway?
Kaum Skeptis dan Aktivitas Wajib Sekolah
Sekitar sebulan sebelum tanggal rilis, 7 Juni 2012, saya mendapatkan tag foto poster film Soegija di Facebook dari teman saya. I don't mind with that kind of tag walau pengunggah foto dan komentar-komentar yang ada di sana sama sekali tidak saya kenal. Yang mengganggu pikiran saya adalah beberapa komentar yang mengganggu pikiran saya. Ada satu orang mengeluhkan sekolah yang mewajibkan anaknya ikut nonton bersama film tersebut. Dengan nada skeptisnya, ia melampiaskan emosinya dengan berkomentar tentang dana 12 miliar yang menurutnya terbuang sia-sia hanya untuk membuat film tersebut. Bahkan ia berujar kalau Mbah Soegija pasti menangis di atas sana, tidak berharap cerita hidupnya diangkat menjadi film dengan membuang-buang uang 12 miliar yang seharusnya bisa digunakan untuk disumbangkan ke orang-orang miskin. Oh man... How can a man think that shallow? It's not cheap to make a good movie, you don't know how a movie can inspire people, and inspiration values more than just 12 billion for God's sake! Saya lebih mending menyumbangkan inspirasi untuk kaum miskin sehingga mereka bisa sukses dengan usaha sendiri ketimbang menyumbang mereka materi yang hanya akan membuat mereka semakin manja bergantung dari pemberian orang. Yah yah yah.. saya jadi ingat polling yang diangkat Kompas beberapa waktu lalu tentang kaum menengah di Indonesia yang skeptis dalam menanggapi berbagai hal.
Oke, mari lupakan kaum skeptis yang sudah sangat susah untuk diubah pola pikirnya. Semoga ke depannya tidak semakin banyak kaum seperti ini. Saya kembali ke topik sekolah-sekolah Katolik yang mewajibkan murid-muridnya untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan (salah satunya menonton film). Bukan barang baru sih, sejak saya TK (kebetulan sejak TK hingga SMA saya bersekolah di sekolah Katolik) sudah sangat sering diwajibkan untuk ikut inilah, itulah.. Dulu sih saya dan orang tua seringnya ngomel-ngomel. Sekolah koq macem-macem, aneh-aneh kegiatannya, apa-apa duit. Kalau sekarang saya berpandangan bahwa it's good to give students many experience sehingga murid-murid tahu banyak hal dan berpandangan luas. Terlebih lagi jaman sekarang, ada berapa banyak sih murid yang berinisiatif ikut suatu kegiatan kalau tidak diwajibkan? Mending main iPad atau Xbox deh di rumah. Gitu kan? Celakalah generasi penerus bangsa! Sayangnya, sistem “wajib” seperti ini bisa menjadi bumerang, terutama bagi image film Soegija sendiri. Saya yakin Garin Nugroho atau tim produksi tidak akan menggunakan cara seperti ini untuk mempromosikan filmnya. But let's think positive about this kind of student activities.
Gereja Berpromosi
Beberapa minggu sebelum rilis, di gereja Paroki saya pun semakin gencar promosi. Selain spanduk rentang collybrite yang membentang di halaman gereja, Romo juga menghimbau umatnya untuk berpartisipasi menyaksikan film ini dengan (lagi-lagi) menyebut angka 12 miliar dan juga kebijakan jaringan 21/XXI tentang masa tayang film Indonesia yang akan dihentikan jika tidak sampai target penonton tertentu dalam waktu 3 hari. Wah hebat, Romo sekarang jadi ikut tahu gerakan #kamiskebioskop hehehe... Saya tersenyum bangga akhirnya ada film Indonesia yang diapresiasi di gereja hingga menimbulkan hype seperti ini. Lebih bangga lagi, akhirnya ada cerita yang mengangkat topik Katolik dari Indonesia untuk memperkaya referensi orang asing tentang budaya bangsa kita yang tidak melulu tentang yang mayoritas itu.
Bookingan Penonton Komunitas Lantas saya mulai mengernyitkan dahi ketika Romo mengumumkan bahwa sekretariat gereja membuka pendaftaran bagi umat yang ingin menyaksikan film tersebut bersama-sama dengan menjual voucher yang nantinya ditukar di bioskop pada hari H penayangan. Saya masih berpikir, “ah nanti beli tiket langsung di bioskopnya aja”. Menginjak H-1 saya terkejut ketika mendengar kabar via akun twitter @SoegijaTheMovie bahwa tiket Soegija untuk penayangan hingga tanggal 11 Juni 2012 sudah habis di-booking. HAH??? Koq bisa begitu? Yang saya tahu sih selama ini pihak 21/XXI tidak pernah membuka pre-sale tiket untuk film apapun hingga lebih dari tiga hari penayangan. Adapun dulu ketika Harry Potter and The Deathly Hallows Part II atau The Avengers hanya membuka presale untuk penayangan 3 hari pertama (hingga hari Minggu). Itu pun mereka tidak menjual semua seat yang ada. Sebuah kebijakan yang sangat baik menurut saya, sehingga penonton yang tidak memiliki akses pre-sale atau mtix tidak pulang ke rumah dengan kecewa gara-gara gagal menyaksikan film. Apalagi penonton dari kota kecil sampai berkorban jauh-jauh ke kota besar terdekat karena di kotanya tidak ada gedung bioskop. Kasihan banget kan?
Lebih parah lagi, di kota sebesar Surabaya film Soegija hanya diputar di lima layar (empat theatre, satu theater memutar di 2 layar; Ciputra World) dan tidak satu pun gedung bioskop yang memutar film tersebut didukung oleh mobile ticketing Mtix. Baru hari kedua ditambah hingga tujuh layar (hanya 1 theatre yang mendukung Mtix; Cito, yang jaraknya 10 km lebih dari tempat tinggal saya maupun pusat kota). Hilang sudah appetite saya untuk menonton cepat-cepat. Sudah tidak bisa via Mtix, antri langsung on the spot juga belum tentu dapat tiket karena tidak ada kepastian masih ada seat yang dijual atau tidak untuk penonton reguler. Tidak ada pengumuman resmi pula dari pihak XXI/21 hingga kapan ia menerima bookingan untuk Soegija sehingga batas waktu untuk tebak-tebak buah manggis di bioskop masih tidak jelas.
Jatah layar Soegija
Satu hal yang bisa saya tarik dari histeria Soegija ini adalah sebuah ironi. Beginilah akibat dari kebijakan XXI/21 yang seolah-olah menganak-tirikan film nasional dalam hal jatah layar pemutaran, bahkan kepada film yang jelas-jelas memiliki hype yang sangat tinggi. Jika The Raid bulan lalu diberi jatah jumlah layar yang sama dengan film-film Hollywood besar lainnya, kenapa Soegija tidak? Padahal jauh-jauh hari sebelum perilisan Soegija sudah di-booking oleh banyak pihak hampir di setiap kota besar yang memutar, sedangkan The Raid sama sekali tidak ada kegiatan pre-sale. Jawabannya jelas : The Raid adalah film dengan tema populer yang bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan dan alasan terbesar adalah film ini hype-nya sangat tinggi secara internasional. Siapa yang tidak penasaran menyaksikannya? Sedangkan Soegija punya tema yang (kelihatannya) lebih segmented dan belum punya prestasi internasional apa-apa. Ditambah lagi jadwal rilisnya yang berbarengan banyak sekali summer movies Hollywood yang jadi tambang emas utama bagi XXI/21 terutama karena distributor untuk kebanyakan summer blockbuster movies tersebut adalah dari afiliasi mereka sendiri (Omega Film). Tentu mereka tidak mau mengkompromikan sedikitpun jatah yang sudah mereka siapkan untuk film-film Hollywood ini. Tak heran jika group XXI/21 memberikan jatah layar yang lebih sedikit untuk Soegija, sekiranya cukup untuk memenuhi kuota bookingan saja. Siapa tahu berita meledaknya penonton yang membooking ini bisa jadi promosi yang ampuh untuk menjaring lebih banyak penonton nantinya. Lumayanlah, usia tayang di bioskopnya bisa lebih lama. Hmmm… trik yang menarik juga sih, entah berasal dari pihak produser film ataupun group XXI/21. Btw ini hanya dugaan lho yah, murni dari hasil analisa saya sendiri, belum tentu kebenarannya.
Kesimpulan Soegija bagi penonton Indonesia
Ketika hari pertama rilis (7 Juni 2012) timeline saya yang kebanyakan berasal dari kaum movie mania maupun pelaku industri film tanah air dipenuhi oleh pujian untuk Soegija (tentu saja selain tweet hujatan untuk KK Dheeraj atas Mr. Bean Kesurupan Depe-nya). Satu kesimpulan yang ditarik oleh banyak orang : terbukti bangsa Indonesia merindukan tontonan tentang kepahlawanan dan hidup dalam damainya kemajemukan. Hmmm… saya masih menyangsikan kesimpulan ini mengingat fakta yang saya uraikan di segmen sebelumnya dan fakta-fakta lain yang terjadi di tanah air belakangan ini. Kalau mau membuktikan hipotesa (ciaahh.. hipotesa jareee…) tersebut, agaknya harus menunggu ketika penonton Soegija bersih dari seat bookingan dan hanya diisi murni oleh penonton yang berinisiatif pribadi untuk menyaksikan film ini, entah berapa lama lagi hal ini terjadi. Kita lihat saja nanti. Semoga saja benar sehingga kita tidak perlu membaca berita tentang kekerasan intoleransi lagi di tanah air.