4/5
Drama
Indonesia
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review - Lovely Man
Teddy
Soeriaatmadja adalah salah satu sutradara (sekaligus juga penulis naskah)
Indonesia yang memiliki talenta menjanjikan. Terlihat sekali dari film ke film,
keahliannya menyusun cerita sekaligus memvisualisasikannya semakin membaik.
Tengok saja sejak Banyu Biru, Ruang, remake Badai Pasti Berlalu, Namaku
Dick, dan Rumah Maida. Kini, ia
kembali menulis sekaligus menyutradarai film layar lebar keenam yang juga
diklaim oleh berbagai pihak sebagai pencapaian terbaiknya selama ini, Lovely Man.
Ini adalah
film tentang hubungan ayah-anak yang telah lama terpisah, tidak hanya oleh
ruang tapi juga oleh dunia kehidupan yang sangat kontras : Waria dan gadis
berjilbab. Seperti sejatinya kehidupan, Lovely
Man (LM) memilih untuk mengangkatnya secara sederhana. Tidak perlu kompleksitas
cerita ala sinetron. Tak perlu pula menjustifikasi salah satu pihak. LM tampil
apa adanya, realistis dan sangat mengena. Justru dari situlah premise LM
menjadi sangat menarik untuk diikuti.
Cerita
dibangun hanya melalui gesture serta dialog (juga hanya) oleh dua karakter :
Saiful alias Ipuy dan putrinya, Cahaya. Hebatnya, justru cerita dapat mengalir
dengan sangat lancar dan semakin lama semakin menarik hanya dengan bekal
tersebut. Tentu hal ini tak terlepas dari kepiawaian Teddy dalam menentukan
timing dan pace dari tiap dialog yang ada. Dimulai dengan canggung hingga
lama-kelamaan semakin mencair dan chemistry ayah-anak antara keduanya terasa
sangat akrab, termasuk dan terutama bagi penonton.
LM juga
tidak merasa perlu untuk menutup cerita dengan jelas bagaimana nasib Ipuy dan
Cahaya selanjutnya. Saya setuju, karena fokus utama di sini adalah bagaimana
Ipuy dan Cahaya dengan perbedaan-perbedaan yang ada mampu menjadi akrab dan
intim. That’s all. Dan dengan fokus tersebut, Teddy sangat berhasil
mengeksekusinya. Satu adegan yang sangat indah dan jelas dalam mengkonklusi
cerita : Cahaya menerima telepon dari pacarnya di sudut terang kota Jakarta
sementara Ipuy berada di baliknya, sisi remang-remang, sedang tersenyum puas
melihat putrinya berani menghadapi problemanya. They both are happy in their
own realm. Lantas bagaimana endingnya? Penonton lah yang menentukan, apakah
termasuk happy ending atau tidak. Jika dilihat dari sudut pandang kedua
karakternya dan fokus tersebut, jelas LM memiliki happy ending yang sangat
memuaskan. Walau pada akhirnya salah satu karakter harus meregang nyawa demi
karakter yang lain, LM tak perlu menampilkannya.
Sebagai background
cerita, Teddy memotret kota Jakarta pada saat yang paling pas (menurut karakter
Ipuy) : rame nggak, dibilang sepi-sepi banget juga nggak. Jakarta yang tanpa
glamoritas dan kemacetan. Yang ada justru warga golongan marginal : waria dan
pemulung yang makan nasi bungkus sambil mengais sampah. Sebuah realitas kota
megapolitan yang membuat saya terdiam dan terenyuh.
Dengan
durasi yang tergolong singkat, yakni 75 menit, LM berhasil menyuguhkan
pengalaman visual sekaligus keintiman karakter yang sederhana namun mengesankan
bagi penonton.
The Casts
Donny Damara
dan Raihaanun menjadi pusat perhatian sepanjang film. Sedikit mengingatkan
peran Barry Prima di Realita, Cinta, dan
Rock n’ Roll, Donny juga berhasil mencuri layar berkat perannya yang
bertolak belakang dengan image-nya sehari-hari. Ia mampu membawakan peran Ipuy
dengan sangat baik, tak hanya dari segi gesture namun juga karakternya secara
keseluruhan. Bahkan ketika tanpa atribut yang ia kenakan sebagai waria, Donny
masih mampu mempertahankan karakter Ipuy-nya dengan sangat meyakinkan. Tak
heran jika Asian Film Awards mengganjarnya pengahargaan Aktor Asia Terbaik
2012, bahkan mengalahkan Andy Lau di film A
Simple Life.
Raihaanun
pun sanggup mengimbangi akting Donny. Sebagai gadis berjilbab yang lugu, yang
tidak tahu harus melakukan apa menghadapi ayahnya yang ternyata seorang waria,
gesture dan ekspresi wajahnya juara! Perkembangan yang terjadi pada karakter
Cahaya di tiap adegan pun dapat diterjemahkan dengan sangat baik dan pas olehnya.
Technical
Berangkat
sebagai film independen berbudget terbatas, harus dimaklumi ada banyak kendala
teknis di sana-sini, terutama yang paling terasa adalah pergerakan kamera. Di
hampir semua adegan, shaky-camera sangat terasa, begitu pula dengan panning
yang kasar. Tidak sampai membuat pusing atau mengganggu sekali sih, tapi tidak
bisa dipungkiri goyangnya kamera ini membuat LM terasa “kurang profesional”.
Untung saja cerita, dialog, dan akting dari para aktornya cukup menutupi kekurangan
tersebut, sehingga secara keseluruhan LM masih tampil elegan.
Pencahayaan
tidak begitu menjadi kendala sepanjang durasi, mengingat settingnya yang hampir
90% malam hari hingga subuh. Tak ada gambar yang terasa terlalu gelap hingga
mengurangi kejelasan adegan. Detail ketajaman gambar pun cukup terjaga dan memanjakan
mata.
Sementara
score yang disuguhkan menurut saya tergolong generik, kebanyakan hanya
dentingan piano sederhana. Cukup lah jika hanya sekedar mengiringi adegan agar
terasa lebih menyentuh, tetapi tidak terasa begitu istimewa. Justru ada
beberapa adegan yang (lagi-lagi, menurut saya) terasa lebih efektif jika
ditampilkan tanpa iringan score sama sekali.
The Essence
Seorang teman
pernah berujar seperti ini : “Kehidupan memberikan ujian terlebih dahulu baru
kita mendapatkan pelajarannya”. Sebuah ungkapan sederhana namun jika mau kita
renungkan ada benarnya juga. Kita, di Indonesia, yang notabene “diwajibkan”
untuk beragama dan menjadi religius, seringkali diajarkan untuk hidup sesuai
dengan ajaran agama kita masing-masing. (Ajaran) agama dijadikan semacam “manual
book” untuk menjalani hidup sehari-hari. In life, it’s all about right or
wrong. Do the right thing and avoid the wrong thing. That’s all. Padahal hidup
tidak semudah benar atau salah, tetapi hidup juga lebih sederhana ketimbang aturan-aturan
yang dituliskan di kitab suci.
Buat saya
pribadi, pengalaman hidup kita sehari-hari adalah “ajaran” yang paling penting
dan paling mempengaruhi kepribadian kita masing-masing. Lihat saja Ipuy yang
walaupun menurut banyak orang adalah sampah masyarakat (terutama dari mata
agama), ternyata mampu mengajarkan wisdom yang realistis kepada putrinya.
Sementara Cahaya yang besar dalam bimbingan pesantren justru kebingungan dalam
menghadapi hidupnya yang semakin keras seiring dengan fase kedewasaan yang
mulai dimasukinya. Dua dunia yang berbeda dengan dua sudut pandang kehidupan
yang berbeda pula.
Menjadi hal
yang penting dalam hidup manusia bagaimana menempatkan ajaran agama sebagaimana
mestinya. Ajaran agama memang penting sebagai basic, tapi dalam menghadapi
problematika hidup sehari-hari, kita tidak bisa menerapkan ajaran agama mentah-mentah.
Perlu pemikiran yang mendalam dalam menyelesaikan masalah. Agama tidak
memberikan jawaban, hanya petunjuk. Jawabannya tentu ada di pribadi kita
masing-masing setelah kita memikirkan dan menganalisanya.
Lihat data film ini di IMDB.
Situs resmi Lovely Man.