3/5
Action
Adventure
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review - Hanna
Overview
Tidak begitu lantang terdengar, Hanna adalah film produksi 2011
berbudget rendah untuk ukuran film aksi, hanya sekitar US$ 30 juta. Namun siapa
sangka hampir separuh budget tersebut balik modal ketika opening weekend saja
dan mampu meraup lebih dari dua kali budget untuk penayangan worldwide-nya?
Tentu ada hal yang menarik dari film besutan Joe Wright setelah Pride & Prejudice dan Atonement ini. Apalagi Saoirse Ronan,
aktris muda yang sempat mencuri perhatian di Atonement menjadi karakter utama di sini.
Hanna dibuka dengan sangat menarik dan sangat menjanjikan. Kita
diperkenalkan dengan sosok Hanna, seorang gadis muda belasan tahun yang tangguh
berkat tutorial dari sang ayah di tengah hutan bersalju. Aksinya dalam berburu
rusa tentu memukau siapa saja. Cerita lantas bergulir ketika
pelatihan-pelatihan self-defense dan attacking tersebut mulai mengarah ke
keterlibatan badan intelijen. Dari sini cerita berkembang dengan sangat baik,
terutama dalam hal memberikan clue satu per satu kepada penonton tentang siapa
Hanna sebenarnya dan alasan-alasan mengapa ini-itu terjadi. Gaya penceritaan
dan editing ala arthouse sangat mendukung kedinamisan film. Pace cepat pas pada
waktunya ketika adegan aksi dan kejar-kejaran, serta alur melambat dan silence
ketika adegan emosional Hanna yang mempelajari dunia barunya. Semua terangkai
dengan sangat seimbang dan enjoyable. Patut dicatat pula keefektifan pemecah
keheningan yang mampu membuat penonton terguncang dari kursi berkali-kali.
Sayang, Hanna mulai kedodoran ketika memasuki paruh kedua, baik dari segi
pace, keefektifan adegan, dan juga perkembangan cerita. Paruh kedua ini terasa
seperti kehilangan arah dalam membawa cerita dan membuyarkan semua
pondasi-pondasi menarik yang dibangun sejak awal film. Sedikit demi sedikit
rasa penasaran penonton memudar, termasuk ketika twist cerita terungkap. Twist
yang sejatinya menarik namun terasa hambar di layar. Editing pun tak banyak
membantu, seperti sudah kehabisan inovasi dan energi yang sempat menggebu-gebu
di awal. Menjelang akhir, plot utama dan sub plot banyak yang tidak dituntaskan
dengan memuaskan. Subplot yang bisa dikembangkan menjadi lebih menarik,
misalnya tentang persahabatan Hanna-Sophie dan keluarganya, hubungan antara
Hanna-Erik, serta kejadian awal yang melibatkan Marissa, Erik, dan Johanna,
tidak diberikan konklusi yang jelas. Well, finally Hanna hanya mampu menjadi gabungan antara film spionase
dikejar-kejar ala Bourne Identity
dengan kick-ass character gadis belasan tahun ala Leon The Professional.
Andai saja paruh kedua hingga
akhir digarap sama menariknya dengan awal film, bukan tidak mungkin Hanna menjadi film aksi spionase yang
bakal dikenang sepanjang masa, bahkan mungkin menjadi franchise tersendiri.
The Casts
Alasan utama saya menonton Hanna adalah Saoirse Ronan sebagai
kick-ass teenage girl dan saya sangat puas dengan penampilannya di sini. Eric
Bana tampil cukup menarik. Sayang karakternya tidak banyak dikembangkan
sehingga terasa kurang berkesan. Begitu pula dengan Cate Blanchett yang
kharismanya tak kalah sebagai villain.
Technical
Gaya art-house begitu kental
terasa sejak awal film, terutama dari segi editing, angle, dan scoring. Modal
yang sangat baik untuk menjadikan Hanna
unik yang berbeda dengan film-film bertema spionase lainnya. Adegan yang saya sukai
adalah ketika Hanna melarikan diri dari fasilitas Marissa. Dinamis seperti
menyaksikan music video. Menarik pula menyaksikan pertarungan antara Erik dan
puluhan anak buah Marissa dengan angle berkeliling. Mengingatkan saya akan
adegan Neo vs. Agent Smith’s clones di The
Matrix Reloaded.
Score oleh The Chemical Brothers
bisa jadi pilihan yang sangat tepat. Aliran industrial techno-nya berhasil
menghidupkan adegan-adegan aksi dan menegangkan sepanjang film. Belum lagi The Devils is in the Details yang disiulkan
Isaacs sepanjang film berhasil terngiang terus di telinga.
The Essence
Hanna adalah gadis belasan tahun
yang dibesarkan dengan cara yang keras. Sepanjang hidupnya ditempa sehingga ia
menjadi mesin pembunuh yang tangguh, kuat, dan berteknik tinggi. Selain itu, ia
juga dihindarkan dari berbagai emosional, seperti rasa kasihan, rasa
kehilangan, bahkan ia belum pernah mengenal yang namanya musik. Tentu ketika
dilepas ke dunia luar, Hanna canggung untuk berteman dan berpacara. Namun
secara naluriah, ternyata ia juga merasakan butuh untuk memiliki sahabat dan
orang-orang yang mengasihinya. Sisi manusiawinya inilah yang menarik untuk
dijadikan bottomline. It’s human nature to feel, no matter how hard you’ve been
trained and raised as a killing-machine.
Lihat data film ini di IMDB.