The Jose Movie Review - Garuda di Dadaku 2


Rudi Soedjarwo merilis film anak keduanya tahun ini setelah Lima Elang (5E) yang bisa dibilang cukup berhasil. Walau menurut saya masih tergolong biasa, Rudi mencoba untuk memperbaikinya lewat Garuda di Dadaku 2 (GDD2). Bedanya, kali ini Rudi diberi materi yang lebih dewasa sedikit ketimbang 5E.

Sepak bola tahun ini bisa jadi subjek yang paling banyak disorot di negeri ini. Di film sendiri sebelumnya sudah ada Hanung Bramantyo yang mengangkatnya lewat Tendangan dari Langit. Karena jadwal rilisnya yang hanya berselang beberapa bulan, wajar jika penonton lantas mencoba membandingkan keduanya. Tidak salah sih, tapi menurut saya walaupun punya tema yang sama tetapi keduanya memiliki banyak sekali perbedaan. Pertama, jelas antara Hanung dan Rudi memiliki ke-khas-an yang berbeda dalam penggarapan. Kedua, fokus cerita berbeda. Jika Hanung mengangkat perjuangan pemuda desa demi masuk timnas, maka GDD2 menitik beratkan pada perkembangan karakter utama, Bayu. Di sini lah letak menariknya GDD2 yang tidak semata-mata mengenai dunia sepak bola. Ada nilai kedewasaan universal yang ingin disampaikan melalui dunia sepak bola. Saya sangat menyukai penggambaran pribadi Bayu yang mulai menginjak remaja dengan cukup detail. Tidak ada deh karakter ideal dimana protagonis selalu bersikap sempurna. Karakter Bayu sangat manusiawi: rasa kesal karena sahabatnya mulai akrab dengan orang lain, kekesalan karena kepercayaan kapten tim yang dialihkan dari dirinya, tekanan mental sebagai kapten yang timnya belum pernah menang pertandingan, hingga tekanan dari sisi akademisnya. Semua ditampilkan dengan sangat baik oleh Emir Mahira yang kemampuan aktingnya semakin matang. Thanks to Salman Aristo yang tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya sebagai scriptwriter.
Secara teknis, tentu tidak banyak yang bisa saya komentari karena Rudi dari dulu memiliki taste sinematografi, art direction, dan dramatisasi yang sangat baik. He’s the king of drama, bisa bikin adegan dramatis tanpa terasa terlalu berlebihan. Adegan ngambek-ngambekan antara Bayu dan Heri adalah adegan yang menurut saya Rudi Soedjarwo banget! Aghi Narottama, Bembi Gusti, dan Ramondo Gascaro yang sekarang lagi naik daun sebagai penata musik film-film nasional papan atas, memberikan nyawa tersendiri bagi tiap adegan sehingga terasa lebih hidup dan menghanyutkan, walau tak sampai menjadi memorable banget seperti layaknya score Arisan! 2 atau Pintu Terlarang. Well, yang penting kan sudah cukup mampu menghidupkan adegan yang diiringi, end of story.
Namun dari segala kelebihan yang dimiliki, GDD2 tak luput dari kekurangan. Ketika adegan terakhir dan beralih ke credit title, saya merasakan kurang klimaks. Saya masih belum puas dengan konflik yang terjadi antara Bayu, ibunya, dan teman bisnis ibunya. Seolah pertautan antara ketiganya dimulai dan berjalan dengan sangat baik sepanjang film, namun tidak diberi kesimpulan. Ending ini pula yang kurang bisa menggambarkan hubungan Bayu dengan ibunya yang seharusnya tidak kalah penting. It’s like, “yang penting menang final, end of story”. Padahal sejak awal jelas sekali tersirat bahwa yang harus diselesaikan adalah konflik Bayu dengan orang-orang di sekitarnya. Jika konflik antara Bayu dengan Heri, Anya, maupun dirinya sendiri bisa diselesaikan dengan baik, mengapa antara Bayu dengan ibunya tidak tuntas?
Kekurangan lain yang terasa adalah jalannya pertandingan-pertandingan sepak bola yang kurang seru. Mungkin tidak ada dramatisasi seperti slow motion menjelang goal ataupun editing yang kurang bikin breathtaking. Misalnya adegan goal terakhir yang terlalu cepat dan pergantian framenya yang kurang halus, sehingga terasa biasa saja. Justru adegan pertandingan semi-final yang diiringi nyanyian Garuda di Dadaku oleh penonton lebih bikin merinding buat saya.
Dari segi teknis, saya juga kurang puas dengan volume dialog di beberapa bagian yang terasa terlalu kecil, kurang imbang dengan score yang terdengar megah. Yang paling terasa jelas adalah dialog Maudy Koesnaedi dengan Emir Mahira di mobil pada opening title. Untung saja tidak sampai semua adegan seperti itu.
Untuk jajaran cast, semuanya cukup berhasil menghidupkan karakter dengan porsi masing-masing. Bahkan Ramzi yang perannya kecil, berhasil menyegarkan suasana film, dimana karena konflik-konflik yang dialami Bayu hampir saja menjadikan mood sepanjang film terasa sangat serius. Monica Sayangbati yang sebelumnya juga pernah bermain di 5E sekali lagi berhasil mencuri perhatian. I think she has a good future in movie industry. Bahkan tampilan fisiknya lebih cantik dan memikat daripada di 5E. Rio Dewanto cukup beruntung karena dua filmnya dirilis dalam waktu yang berdekatan : Arisan! 2 dan GDD2. Tentu saja dengan peran yang sangat kontras di kedua film tersebut memberikan kesan tersendiri bagi penonton. Image sebagai aktor yang patut diperhitungkan kemampuan aktingnya dapat dengan mudah diraih.
Anyway, GDD 2 adalah film yang sangat layak untuk disaksikan oleh anak-anak Indonesia. Penonton dewasa juga bisa bernostalgia dengan masa-masa peralihan dari anak-anak menuju remaja. Even for a non soccer fan and those who haven’t watched the previous movie, GDD2 was still easily understandable and entertaining.
Lihat official website film ini
Diberdayakan oleh Blogger.