4/5
Action
Cult
Drama
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review - Drive

Di tengah kebosanan dengan film-film mainstream Hollywood yang makin lama hanya menyajikan special fx tanpa didukung seni penggarapan yang mumpuni, saya menemukan sedikit oase yang cukup menghibur dan memberikan kesegaran. Drive mungkin adalah tipikal film yang super membosankan bagi penonton yang terbiasa dengan pace ala Hollywood mainstream masa kini, tapi jika Anda bisa menikmati film-film Hollywood era ’70-‘80an, maka besar kemungkinan Anda akan menyukai sajian yang satu ini.
Dengan budget minimalis, Nicolas Winding Refn praktis hanya mengandalkan kepiawaiannya dalam menata sebuah film menjadi sesuatu yang menarik, sesuatu yang seharusnya menjadi hakekat sebuah film yang tidak hanya menjual special fx serta kiss-kiss bang-bang, dengan gaya retro.
Jujur saya agak bosan di menit-menit awal. Judul Drive membuat saya expect adegan kebut-kebutan ala Fast and Furious. Eh ternyata cara The Driver menyetir mobil biasa saja. Tidak ada kebut-kebutan, tak ada pula deru suara mesin atau mobil ngepot. Hanya kepiawaian The Driver dalam hide and seek dengan polisi. Namun saya mencoba untuk bersabar karena saya tahu kesabaran saya akan terbayarkan. I knew this type of movie. Sembari saya mengamati tiap detail adegan, seperti dialog, gesture tubuh, hingga ekspresi wajah. These are important things yang sekarang mulai diabaikan orang gara-gara kebiasaan didikte film-film yang terlalu to the point. Hingga satu titik... bang! Gila neh karakter The Driver... Refn memang tahu betul kapan harus menempatkan adegan-adegan pendobraknya. Saya jadi teringat film sejenis Dirty Harry-nya Clint Eastwood atau Death Wish-nya Charles Bronson. Apalagi ditambah musik pengiring dan score yang sangat mendukung. Entah kenapa saya selalu menyukai adegan-adegan sadis bin miris yang diiringi dengan musik yang justru menenangkan, seperti halnya di Hannibal, Inglourious Basterds, bahkan Rumah Dara. Terasa banget kontras ironi-nya.
Yang patut diingat pula, chemistry antara The Driver dan Irene (karakter yang diperankan Mulligan) bisa terasa sekali tanpa mengumbar adegan seks seperti yang hampir selalu ditampilkan di film Hollywood. Justru ketika adegan “ciuman pertama” lah yang menjadi puncak asmara mereka. Sesuatu yang jarang terjadi di film-film Hollywood akhir-akhir ini namun sangat mengena.
Ryan Gosling yang tahun ini bisa dibilang merupakan tahun keemasannya, sangat berhasil menyatu dalam karakter utama yang misterius. Kadang tampak tenang dan penuh belas kasih, namun bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi super brutal. Bahkan saya tidak merasa perlu tahu asal-usul dan identitas karakter ini sesungguhnya yang memang sama sekali tidak dijelaskan dalam film. Menurut saya ini bukanlah suatu kekurangan atau kedangkalan cerita. Refn sama sekali tidak tertarik untuk menceritakan tentang identitas The Driver. Dia hanya ingin penonton mengenal The Driver seperti apa yang ditampilkan di layar. That’s all. Dari situ ia membangun simpati dari penonton and that worked on me.
Carey Mulligan pun berhasil membuktikan bahwa karakter wanita lemah yang tugasnya hanya untuk dilindungi oleh jagoan utama, bukan berarti tidak memerlukan kualitas akting yang berkelas. Sisanya, pemeran-pemeran pendukung seperti Bryan Cranston, Albert Brooks, dan Ron Perlman mengisi perannya masing-masing dengan cukup maksimal.
Overall, Drive memerlukan kesabaran dan kejelian mengamati adegan jika ingin menikmatinya. Pada saat credit title muncul pun, saya sempat berpikir, “Lho, sudah? Gitu aja?”. Namun selama perjalanan pulang, pikiran saya terus terhantui oleh adegan-adegan yang barusan saya saksikan dan ketika saya mulai memikirkan tiap detail plot yang ada, saya baru menyadari betapa dahsyatnya efek psikologis yang disebabkan oleh film se-sederhana Drive. Simply the only 2011’s cult movie.
Lihat data film ini di IMDB