Film pendek memang bisa menjadi ajang pembelajaran sekaligus etalase sebelum menggarap film panjang. Ada cukup banyak nama sutradara yang sangat populer di ranah film pendek Indonesia akhirnya juga mendapatkan kepercayaan menggarap film panjang. Salah satunnya adalah Adriyanto Dewo yang dikenal lewat film-film pendek seperti Kejadian, The Storyteller, dan Nyanyian Para Pejuang Sunyi. Setelah berkesempatan mengisi segmen di omnibus Hi5teria, Sanubari Jakarta, dan Lima, Adriyanto Dewo sempat dipercaya menggarap Tabula Rasa (2014) produksi Lifelike Pictures. Merasa puas dengan hasilnya, produser Sheila Timothy dari Lifelike Pictures tertarik untuk kembali bekerjasama untuk film panjang keduanya yang bertajuk Mudik. Sempat dinominasikan untuk kategori Best Film di ajang International Film Festival & Awards Macao tahun 2019 lalu, film yang dibintangi Putri Ayudya, Ibnu Jamil, Asmara Abigail, dan Yoga Pratama ini sayangnya harus membatalkan perilisan teatrikal di Tanah Air menyusul bioskop-bioskop yang masih belum kunjung mendapatkan ijin untuk buka karena pandemi COVID-19. Mudik pun lantas langsung bisa ditonton di seluruh pelosok Nusantara secara eksklusif di Mola TV mulai 28 Agustus 2020.
Saat melakukan perjalanan mudik lewat jalan darat, pasangan suami-istri, Firman dan Aida, tak sengaja menabrak seseorang hingga menewaskan korban. Tak mau lari dari tanggung jawab, Firman dan Aida memutuskan untuk mengunjungi keluarga korban. Sang istri korban, Santi, memilih untuk ikhlas sementara warga desa lainnya memanfaatkan kejadian ini untuk memeras. Santi akhirnya memutuskan meninggalkan desa, meminta bantuan Aida untuk mengantar diri dan putrinya ke kota untuk memulai hidup baru. Aida setuju membantu Santi sampai tiba di kota sementara Firman menolak karena bisa mengganggu rencana mudik ke rumah keluarga besarnya. Perselisihan antara Santi dan Firman pun membuka selubung permasalahan antara keduanya yang ternyata jauh lebih besar.
Sejak awal film menunjukkan ada sesuatu yang disembunyikan Aida dari sikapnya yang agak 'alpa', terutama terhadap sang suami, Firman, tanpa memberitahukan apa penyebabnya. Rasa penasaran penonton dibiarkan hingga di babak berikutnya dibenturkan pada masalah yang memercikkan intensitas lebih ke dalam plot. Penonton kemudian dibuat terpaku oleh bagaimana keduanya menyelesaikan konflik yang sangat dekat dengan kecenderungan pilihan sikap beberapa pihak di dalam masyarakat kita yang cukup untuk menimbulkan sebuah generalisasi ataupun citra tersendiri bagi bangsa kita; memanfaatkan musibah salah seorang untuk kepentingan sendiri tapi atas nama beramai-ramai tanpa alasan yang logis. Jika dipertanyakan justru semakin memercikkan emosi. Di momen yang saya kira sangat penting bagi plot keseluruhan ini, Adriyanto berhasil membangun intensitas sekaligus dilema moral dari sudut pandang Firman dan Aida sebagai protagonis. Titik dimana penonton juga menguji moralitas Firman dan Aida ketika dihadapkan pada konflik demikian.
Namun rupanya tidak hanya sampai di situ, poin utama film masih belum tercapai ketika masuk ke babak berikutnya ketika Santi membuat keputusan besar dengan memanfaatkan rasa bersalah Aida. Kali ini keterpihakan penonton dibuat sangsi antara Aida dan Firman. Hingga selubung rahasia apa yang sebenarnya terjadi antara pasangan suami-istri (lagi-lagi menyangkut 'budaya bobrok' tipikal yang cukup klise untuk menjadi sebuah generalisasi atau bahkan sebuah citra tersendiri bagi bangsa kita), baru lah penonton menemukan poin utama yang ingin dicapai film lewat pembangunan plot keseluruhan.
Dari sini saya mulai menyadari betapa sebenarnya Mudik punya topik yang menarik untuk dibahas tapi masih terasa jauh dari solid ketika dirangkai dalam sebuah kesatuan yang utuh. Ia sekadar membenturkan hubungan sebab-akibat dari praktik 'budaya-budaya bobrok' yang sudah terlalu jamak terjadi sehingga cukup valid untuk dijadikan generalisasi atau sebuah citra tersendiri bagi bangsa kita. Kejadian-kejadian yang sebenarnya tak perlu berakibat sebegitu buruk (atau imbasnya merembet sebegitu jauhnya) jika masyarakat kita tak begitu lekat dengan pola pikir seperti yang tergambarkan dalam film.
Ada kalanya Mudik terasa seolah mengangkat tema keseteraan gender lewat karakter Aida dan Santi. Lihat saja bagaimana praktik 'budaya bobrok' yang lebih berimbas terhadap Aida ketimbang Firman dan bagaimana kondisi sekaligus keputusan besar nan berani yang dibuat Santi 'menginspirasi' Aida untuk punya keberanian mengambil sikap yang serupa. Sebuah upaya penyampaian tema lewat rangkaian yang cukup baik sebenarnya, jika sebelumnya tak dibenturkan juga oleh 'konflik pertama' yang mana tak hanya meletakkan wanita (dalam hal ini, Aida) sebagai 'korban'-nya, tapi juga Firman. Ini yang membuat poin peran wanita sebagai topik utama terasa terdistraksi, tersamarkan, dan kurang solid. Andai saja sejak 'konflik pertama' sudah konsisten meletakkan posisi Aida sebagai satu-satunya korban, mungkin dengan meletakkan karakter Firman dengan porsi yang tak terlalu memberikan pengaruh terhadap penyelesaian konflik, Mudik bisa jadi film yang terasa jauh lebih solid.
Pilihan penggambaran karakteristik Firman yang demikian juga berimbas terhadap simpati penonton kepada Firman dan Aida. Karakter Firman terasa terlalu 'abu-abu' dan lemah dalam pengambilan keputusan. Ketika seharusnya Firman menjadi sosok 'antagonis' tapi penonton sudah terlanjur meletakkan sedikit simpati lewat kiprahnya membela Aida di kejadian-kejadian sebelumnya. Di satu sisi ini bisa menjadikan Mudik sebagai sebuah film yang mengalir natural dengan karakter-karakter yang tidak serta merta hitam atau putih. Di sisi lain, film juga menjadi jalinan plot yang terasa kurang solid dalam menyampaikan gagasan utamanya tanpa penulisan motivasi dan pengembangan karakter (terutama Firman) yang cukup untuk membuat penonton sepenuhnya memahami sisi abu-abu karakter. Alhasil bagi penonton, ini menjadi dimana karakter lebih terasa sebagai plin-plan ketimbang abu-abu. Simpati atau pun sebal terhadap karakter Firman menjadi terasa setengah-setengah hingga penonton (setidaknya saya) memutuskan untuk tidak merasakan apa-apa. Karakternya tak memberi impact apa-apa. Sayang sekali.
Pun di beberapa bagian saya masih merasakan beberapa 'lubang' yang mengganggu benak saya sepanjang film, terutama pertanyaan, "bagaimana Firman bisa tahu bahwa nama korbannya adalah Sugeng ketika sebelum-sebelumnya tidak ada indikasi penemuan nama tersebut? Bahkan di adegan sebelumnya Firman dan Aida tampak kebingungan ketika menjelaskan korban kecelakaan tanpa mengetahui namanya" dan "apa yang terjadi hingga Santi akhirnya bisa kembali bersama-sama dengan Agus di adegan salat ied ketika di adegan sebelumnya jelas-jelas mengindikasikan bahwa Agus meninggalkan Santi begitu saja?".
Di samping pilihan-pilihan dalam merangkai plot yang menjadi cidera bagi film, penampilan para aktor utamanya cukup layak diapresiasi meski belum juga ada kesempatan untuk memberikan performa yang eksepsional maupun benar-benar berkesan. Terutama sekali Putri Ayudya yang dengan konsisten memanifestasikan perasaan dan pikiran yang membuat penonton terus-terusan mencoba menganalisis apa yang terjadi kepada karakternya. Ibnu Jamil pun mampu mengimbangi performa Putri dengan kharisma yang cukup meyakinkan sebagai sosok Firman di balik penulisan karakter yang sayangnya, masih lemah. Sementara Asmara Abigail dan Yoga Pratama setidaknya juga sudah memberikan performa terbaik di beberapa momen dramatis meski kurang didukung penulisan serta pengembangan karakter yang lebih bisa mengeksplorasi kapasitas akting mereka secara lebih optimal.
Tak ada pula yang terlalu istimewa dari segi teknis. Camerawork Vera Lestafa yang sekadar cukup mampu bercerita dengan lancar dan sesuai dengan pace bercerita secara rapi. Untuk adegan menyetir mobil misalnya, camerawork segmen Jalan Pintas di omnibus Jakarta Maghrib (2010) masih jauh lebih memorable. Pun juga adegan menjelang penutup salat ied di padang pasir yang sebenarnya punya potensi menjadi terlihat lebih 'akbar' tapi bagi yang sudah pernah ke lokasi tersebut secara langsung sebenarnya terlihat biasa. Satu-satunya yang patut mendapatkan apresiasi lebih dari segi teknis adalah ilustrasi musik yang dibawakan oleh Budapest Scoring Orchestra yang tak hanya mengalun bersahaja di banyak momentum, terutama adegan penutup, tapi juga mampu memperkuat berbagai keperluan pembangunan nuansa adegan.
Sebenarnya beberapa cela yang begitu terasa sehingga mempengaruhi potensi-potensinya yang besar cukup disayangkan. Pun Adriyanto Dewo masih belum beranjak jauh dari ciri khasnya dalam bercerita yang berusaha menahan-nahan potensi emosional yang membuatnya terjebak di tengah-tengah penceritaan mainstream dan arthouse. Belum mampu berhasil memberikan emotional impact bagi penonton dengan cara mainstream, tapi juga belum mampu secara solid bercerita secara arthouse. Selebihnya, nikmati saja Mudik sebagai sajian film Indonesia dengan daya tarik pada sekadar membenturkan 'budaya-budaya bobrok' bangsa kita sebagai sebuah refleksi kecil. Dengan pilihan yang tak begitu banyak hingga saat ini, Mudik setidaknya masih cukup layak dinobatkan sebagai salah satu sajian film Indonesia terbaik tahun ini. Dengan beberapa catatan.
Mudik bisa ditonton secara eksklusif di Mola TV dengan hanya membayar IDR 17.000 untuk akses film tersebut saja selama 24 jam.
Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.