2.5/5
Based on Book
Biography
Drama
Family
Indonesia
Inspirational
Motivational
Poverty
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Sepatu Dahlan
Overview
Lagi-lagi film diangkat
dari novel yang sama-sama menjual motivasi dan inspirasi. Well, dalam kamus
saya, yang berhak memberi label “motivasi” dan “inspirasi” adalah pihak yang
merasakan manfaat dari sesuatu dan bisa mengubah hidupnya, bukan pihak yang
(merasa) memberikan motivasi dan inspirasi. Pede dan sok sekali orang yang
mengatakan dirinya mau dan/atau bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain.
Well, keadaan masyarakat kita yang udah kelewat mengenaskan membuat apapun yang
berlabel “motivas” dan “inspirasi” selalu laris. Iya, semenyedihkan itulah
masyarakat kita. Tapi apa yang terjadi kemudian? Hanya euforia perasaan sesaat
saat menonton atau membaca saja, setelah itu tidak ada perubahan apa-apa.
Motivasi dan inspirasi pun tinggal sekedar delusional. Apa yang salah? Let’s
say, cara menyampaikan atau kemasannya, mungkin.
Beralih ke Benni
Setiawan, salah satu sutradara film Indonesia yang lagi high demand. Berbekal
prestasi gemilang di FFI untuk 3 Hati 2
Dunia 1 Cinta (3H2D1C), Benni dipercaya untuk menggarap skenario sekaligus
menyutradarai film-film adaptasi novel seperti Madre, Edensor, dan Bangun Lagi Dong Lupus. Well, jujur
hasilnya jauh dari harapan dan sangat menurun drastis dari 3H2D1C. Novella Madre yang punya filosofis mendalam
jatuh menjadi just another sweet romantic movie, Lupus yang selama ini punya image keren dan gaul jadi film remaja
preachy dan penuh pesan moral, dan Edensor
yang motivasional menjadi film cinta-cintaan tanpa arah cerita yang jelas.
Entah kesemuanya memang permintaan produser atau memang asli keluar dari Benni
sendiri. Yang pasti karya-karya terakhirnya ini membuat para penggemar menjadi
khawatir kalau-kalau novel favoritnya diangkat ke film dengan melibatkan Benni.
Puas dengan hasil Edensor (yang padahal secara penghasilan
jauh di bawah Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi), Mizan Productions
mempercayai Benni untuk menggarap novel biografi dari salah satu tokoh paling
berpengaruh (atau setidaknya paling banyak dibicarakan saat ini) di Indonesia,
Dahlan Iskan.
Seperti yang bisa diduga
sebelumnya, Benni kembali menggunakan formula lamanya untuk Sepatu Dahlan (SD). Tanpa ada konsep
dasar yang jelas, matang, dan fokus, cerita SD dibiarkan bergulir apa adanya
dengan berbagai konflik-konflik klise yang mungkin sudah bosan kita saksikan di
ratusan film, sinetron, maupun FTV yang mengangkat (baca: mengeksploitasi) kemiskinan. Semua konflik yang ada pun
diselesaikan dengan kalimat ajaib, “ya sudah...” atau “yo wis, yang
penting...”. Coba hitung ada berapa kali kalimat senada terlontar sepanjang
film. Karakter utama pun dibuat bak malaikat yang selalu melakukan hal benar.
Kalaupun salah, itu pasti karena ketidakadilan dan pun begitu ia diam saja
menerima nasib. Jauh dari manusiawi yang menjadi sangat menjengkelkan karena
diulang berkali-kali hanya dengan peristiwa yang berbeda. Berniat ingin
menguras emosi penonton? Well, better use another way because our audiences
have already had it thousands times. Alur cerita yang dirangkai menjadi seperti
sekedar bridging antar nasehat.
Sebenarnya bukan berarti
tidak ada potensi untuk mengembangkan cerita maupun adegan menjadi lebih
menarik. Saya melihat banyak sekali potensi, tapi Benni rupanya lebih memilih
untuk melewatkannya begitu saja dan setia pada pola cerita yang lurus-lurus
saja. Misalnya saja adegan pertandingan voli yang seharusnya bisa menjadi lebih
seru seperti lomba cerdas cermat di Laskar
Pelangi. Tapi yang ada di layar, ya sudah lah...
Untuk menyegarkan
suasana, dipasanglah karakter komikal seperti Kadir yang punya tawa khas dan
karakter juragan yang diperankan oleh Kirun. Bagi sebagian penonton ia berhasil
memberikan sedikit penyegaran, namun tak sedikit yang justru menganggapnya
(even more) annoying.
In the end, SD jatuh
hanya menjadi just another preachy (so-called) motivational movie yang datar,
dragging, tanpa konsep cerita yang jelas alias mentah, klise, dan easily
forgettable. Sesungguhnya, ini sayang sekali karena niat baiknya menjadi
sia-sia. Kalaupun ada yang merasa “tercerahkan” ketika menonton, mari kita
lihat beberapa bulan ke depan jika film ini masih punya pengaruh terhadap
hidupnya. Kalau iya, syukur deh setidaknya film ini masih punya pengaruh bagi
segelentir orang.
The Casts
Kementahan skrip
untungnya cukup diselamatkan oleh aktor-aktor yang tampil maksimal (sesuai
skrip). Aji Santosa yang sudah cukup punya banyak pengalaman berakting berhasil
menghidupkan karakter Dahlan kecil dengan baik, terlepas dari karakternya yang
dibuat pasrah. Beberapa adegan yang dilakoninya cukup menyentuh meski klise.
Donny Damara seperti biasa tampil dengan kharisma paling kuat, meski tentu
bukan penampilan terbaiknya (lagi-lagi karena tuntutan skrip yang menjadikan
karakternya terasa biasa saja). Begitu juga Teuku Rifnu Wikana sebagai Kyai
yang tetap memperlihatkan kharisma seperti film-film sebelumnya.
Pujian juga sepatutnya
ditujukan kepada cast-cast asli Madiun yang di luar dugaan luwes membawakan
peran masing-masing. Terutama Sarono Gayuh, pemeran Kadir yang sok tahu tapi
polos, selain tentu saja gaya tertawanya yang khas.
Kinaryosih sudah
berusaha menghidupkan karakter ibu Dahlan yang lemah lembut, namun somehow
suaranya yang berusaha dipelankan masih terdengar dibuat-buat. Sementara Ray
Sahetapy terasa mubazir dengan porsi yang teramat kecil dan sama sekali tidak
mencolok. Justru Kirun yang tampil lebih menarik. Lebih serius ketimbang
biasanya, meski terkadang masih mengundang sedikit tawa.
Technical
Alam pedesaan ditangkap
dengan cukup apik oleh Rendra Yusworo meski tidak ada yang begitu istimewa atau
memberikan emosi lebih kepada cerita. Tata artistik pun memberikan nafas
kemiskinan seperti film-film sejenis. Konon Pak Dahlan Iskan sendiri
menyebutkan bahwa kondisi aslinya masih “lebih miskin” dari yang ada di layar.
Jelas kebutuhan artistik tetap harus diperhatikan, namun jika jatuhnya
memberikan feel yang biasa saja ya percuma juga.
Tata suara sang pakar,
Khikmawan Santosa, seperti biasa memberikan detail-detail suara yang cukup
terdengar. Namun di beberapa bagian audio terdengar kurang memanfaatkan efek
surround untuk lebih menghidupkan suasana. Terakhir, theme song Sepatuku yang dibawakan oleh Repvblik
masih kurang memorable untuk menancap lama di kepala. Bahkan bukan tidak
mungkin banyak yang tidak menyadari di bagian mana theme song tersebut
berkumandang.
The Essence
Kemiskinan bukan alasan
untuk menghalalkan segala cara dan tidak memiliki martabat dan harga diri. Kata
Bapak Dahlan Iskan, “Kaya bermanfaat, miskin bermanfaat”. Itulah yang
seharusnya ditanamkan oleh semua orang tua kepada anak-anaknya.
They who will enjoy this the most
- Orang tua yang membawa anak-anak berusia 7 tahun ke bawah. Namun si anak entah akan ketiduran, berlarian kesana-kemari, atau ribut sendiri
- Motivation and inspiration freak
- Penonton Indonesia yang masih belum sembuh dari sindrom “film Indonesia = film horor cabul”