The Jose Movie Review
Sepatu Dahlan

Overview

Lagi-lagi film diangkat dari novel yang sama-sama menjual motivasi dan inspirasi. Well, dalam kamus saya, yang berhak memberi label “motivasi” dan “inspirasi” adalah pihak yang merasakan manfaat dari sesuatu dan bisa mengubah hidupnya, bukan pihak yang (merasa) memberikan motivasi dan inspirasi. Pede dan sok sekali orang yang mengatakan dirinya mau dan/atau bisa menginspirasi dan memotivasi orang lain. Well, keadaan masyarakat kita yang udah kelewat mengenaskan membuat apapun yang berlabel “motivas” dan “inspirasi” selalu laris. Iya, semenyedihkan itulah masyarakat kita. Tapi apa yang terjadi kemudian? Hanya euforia perasaan sesaat saat menonton atau membaca saja, setelah itu tidak ada perubahan apa-apa. Motivasi dan inspirasi pun tinggal sekedar delusional. Apa yang salah? Let’s say, cara menyampaikan atau kemasannya, mungkin.
Beralih ke Benni Setiawan, salah satu sutradara film Indonesia yang lagi high demand. Berbekal prestasi gemilang di FFI untuk 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (3H2D1C), Benni dipercaya untuk menggarap skenario sekaligus menyutradarai film-film adaptasi novel seperti Madre, Edensor, dan Bangun Lagi Dong Lupus. Well, jujur hasilnya jauh dari harapan dan sangat menurun drastis dari 3H2D1C. Novella Madre yang punya filosofis mendalam jatuh menjadi just another sweet romantic movie, Lupus yang selama ini punya image keren dan gaul jadi film remaja preachy dan penuh pesan moral, dan Edensor yang motivasional menjadi film cinta-cintaan tanpa arah cerita yang jelas. Entah kesemuanya memang permintaan produser atau memang asli keluar dari Benni sendiri. Yang pasti karya-karya terakhirnya ini membuat para penggemar menjadi khawatir kalau-kalau novel favoritnya diangkat ke film dengan melibatkan Benni.
Puas dengan hasil Edensor (yang padahal secara penghasilan jauh di bawah Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi), Mizan Productions mempercayai Benni untuk menggarap novel biografi dari salah satu tokoh paling berpengaruh (atau setidaknya paling banyak dibicarakan saat ini) di Indonesia, Dahlan Iskan.
Seperti yang bisa diduga sebelumnya, Benni kembali menggunakan formula lamanya untuk Sepatu Dahlan (SD). Tanpa ada konsep dasar yang jelas, matang, dan fokus, cerita SD dibiarkan bergulir apa adanya dengan berbagai konflik-konflik klise yang mungkin sudah bosan kita saksikan di ratusan film, sinetron, maupun FTV yang mengangkat (baca: mengeksploitasi)  kemiskinan. Semua konflik yang ada pun diselesaikan dengan kalimat ajaib, “ya sudah...” atau “yo wis, yang penting...”. Coba hitung ada berapa kali kalimat senada terlontar sepanjang film. Karakter utama pun dibuat bak malaikat yang selalu melakukan hal benar. Kalaupun salah, itu pasti karena ketidakadilan dan pun begitu ia diam saja menerima nasib. Jauh dari manusiawi yang menjadi sangat menjengkelkan karena diulang berkali-kali hanya dengan peristiwa yang berbeda. Berniat ingin menguras emosi penonton? Well, better use another way because our audiences have already had it thousands times. Alur cerita yang dirangkai menjadi seperti sekedar bridging antar nasehat.
Sebenarnya bukan berarti tidak ada potensi untuk mengembangkan cerita maupun adegan menjadi lebih menarik. Saya melihat banyak sekali potensi, tapi Benni rupanya lebih memilih untuk melewatkannya begitu saja dan setia pada pola cerita yang lurus-lurus saja. Misalnya saja adegan pertandingan voli yang seharusnya bisa menjadi lebih seru seperti lomba cerdas cermat di Laskar Pelangi. Tapi yang ada di layar, ya sudah lah...
Untuk menyegarkan suasana, dipasanglah karakter komikal seperti Kadir yang punya tawa khas dan karakter juragan yang diperankan oleh Kirun. Bagi sebagian penonton ia berhasil memberikan sedikit penyegaran, namun tak sedikit yang justru menganggapnya (even more) annoying.
In the end, SD jatuh hanya menjadi just another preachy (so-called) motivational movie yang datar, dragging, tanpa konsep cerita yang jelas alias mentah, klise, dan easily forgettable. Sesungguhnya, ini sayang sekali karena niat baiknya menjadi sia-sia. Kalaupun ada yang merasa “tercerahkan” ketika menonton, mari kita lihat beberapa bulan ke depan jika film ini masih punya pengaruh terhadap hidupnya. Kalau iya, syukur deh setidaknya film ini masih punya pengaruh bagi segelentir orang.

The Casts

Kementahan skrip untungnya cukup diselamatkan oleh aktor-aktor yang tampil maksimal (sesuai skrip). Aji Santosa yang sudah cukup punya banyak pengalaman berakting berhasil menghidupkan karakter Dahlan kecil dengan baik, terlepas dari karakternya yang dibuat pasrah. Beberapa adegan yang dilakoninya cukup menyentuh meski klise. Donny Damara seperti biasa tampil dengan kharisma paling kuat, meski tentu bukan penampilan terbaiknya (lagi-lagi karena tuntutan skrip yang menjadikan karakternya terasa biasa saja). Begitu juga Teuku Rifnu Wikana sebagai Kyai yang tetap memperlihatkan kharisma seperti film-film sebelumnya.
Pujian juga sepatutnya ditujukan kepada cast-cast asli Madiun yang di luar dugaan luwes membawakan peran masing-masing. Terutama Sarono Gayuh, pemeran Kadir yang sok tahu tapi polos, selain tentu saja gaya tertawanya yang khas.
Kinaryosih sudah berusaha menghidupkan karakter ibu Dahlan yang lemah lembut, namun somehow suaranya yang berusaha dipelankan masih terdengar dibuat-buat. Sementara Ray Sahetapy terasa mubazir dengan porsi yang teramat kecil dan sama sekali tidak mencolok. Justru Kirun yang tampil lebih menarik. Lebih serius ketimbang biasanya, meski terkadang masih mengundang sedikit tawa.

Technical

Alam pedesaan ditangkap dengan cukup apik oleh Rendra Yusworo meski tidak ada yang begitu istimewa atau memberikan emosi lebih kepada cerita. Tata artistik pun memberikan nafas kemiskinan seperti film-film sejenis. Konon Pak Dahlan Iskan sendiri menyebutkan bahwa kondisi aslinya masih “lebih miskin” dari yang ada di layar. Jelas kebutuhan artistik tetap harus diperhatikan, namun jika jatuhnya memberikan feel yang biasa saja ya percuma juga.
Tata suara sang pakar, Khikmawan Santosa, seperti biasa memberikan detail-detail suara yang cukup terdengar. Namun di beberapa bagian audio terdengar kurang memanfaatkan efek surround untuk lebih menghidupkan suasana. Terakhir, theme song Sepatuku yang dibawakan oleh Repvblik masih kurang memorable untuk menancap lama di kepala. Bahkan bukan tidak mungkin banyak yang tidak menyadari di bagian mana theme song tersebut berkumandang.

The Essence

Kemiskinan bukan alasan untuk menghalalkan segala cara dan tidak memiliki martabat dan harga diri. Kata Bapak Dahlan Iskan, “Kaya bermanfaat, miskin bermanfaat”. Itulah yang seharusnya ditanamkan oleh semua orang tua kepada anak-anaknya.

They who will enjoy this the most

  • Orang tua yang membawa anak-anak berusia 7 tahun ke bawah. Namun si anak entah akan ketiduran, berlarian kesana-kemari, atau ribut sendiri
  • Motivation and inspiration freak
  • Penonton Indonesia yang masih belum sembuh dari sindrom “film Indonesia = film horor cabul”
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.