Overview
Perfilman Indonesia patut berterima kasih atas jasa Gareth Evans yang berhasil menempatkan diri di peta perfilman dunia
dengan gemilang. Meski sebelumnya cukup banyak film Indonesia yang dilirik
berbagai penghargaan bergengsi internasional, baru The Raid yang berhasil secara komersil. Saya sekaligus kagum atas
strategi jitunya dengan menggarap film yang skalanya jauh lebih kecil namun
punya kualitas dan gaya
yang unik untuk mengumpulkan budget mendanai film yang skalanya jauh lebih
besar yang sudah diimpi-impikan dan dipersiapkan sejak lama.
Menyaksikan TR2B mengingatkan saya akan
film-film mafia atau gangster bawah tanah yang sepertinya setiap negara
penghasil film sudah punya sendiri-sendiri. Sebut saja The Godfather dari Amerika Serikat dan Infernal Affairs dari Hong Kong.
Akhirnya Indonesia
punya film gangster sendiri dengan berbagai ciri khas lokalnya, namun dengan
citarasa berkelas internasional. Maka jadilah The Raid 2 : Berandal (TR2B) yang sejatinya bisa berdiri sendiri,
hanya sedikit penyambung di menit-menit awal kemudian langsung “dibersihkan”
untuk babak baru yang lebih akbar, baik secara skala cerita maupun
adegan-adegan aksinya. Fokus cerita dari sudut pandang Rama pun berubah menjadi
pada Uco, anak bos gangster yang melakukan pemberontakan hingga mempengaruhi
semua gang tanah air. Kisah Rama pun hanya diletakkan di awal dan akhir film
sebagai pamungkas, seolah Rama menjadi one man stand yang membereskan
segalanya.
Ada banyak
karakter baru yang muncul di sini, namun sama sekali tidak menimbulkan
kebingungan bagi penonton (setidaknya saya sendiri) berkat alur cerita yang bak
chapter-chapter novel. Setiap karakter
pendukung muncul satu per satu sesuai dengan kebutuhan alur cerita. Meski hanya
tampil dalam chapter, namun masing-masing mampu tampil mengesankan di benak
penonton. Coba tanyakan kepada penonton yang sudah menyaksikan, siapa yang
tidak mengingat karakter Prakoso, The Baseball Bat Man, dan Hammer Girl?). Menurut
saya, ini merupakan strategi jitu dalam menyusun alur cerita yang rapi,
melibatkan banyak karakter dan banyak kejadian. Namun tetap menjadikannya menarik
untuk diikuti meski akhirnya durasi harus membengkak menjadi sekitar dua
setengah jam. Selain tentu saja faktor cukup banyaknya adegan aksi yang juga
sangat mengesankan, seperti adegan pengeroyokan di toilet penjara, kerusuhan di
lumpur, pertarungan 1 on 1 berdarah di dapur, Rama vs The Baseball Bat Man dan
Hammer Girl, serta tentu saja kejar-kejaran mobil yang epic.
Memang ada banyak sekali style adegan
yang mengingatkan akan film-film besar yang pernah ada sebelumnya, seperti
film-film action Hong Kong, Taiwan, maupun Korea Selatan, sampai film-film
Quentin Tarantino. Tapi Evans masih tidak meninggalkan
gaya adegan yang begitu melekat dari The
Raid pertama. Kesemuanya menurut saya mampu melebur menjadi satu kesatuan
yang solid, baik dari segi alur cerita mapupun adegan-adegan laganya.
So yes, I have to admit, terlepas dari
pihak yang menyukainya maupun yang menganggapnya penurunan dibandingkan The Raid pertama, TR2B lebih dari
sekedar cukup memuaskan sebagai sebuah sajian film action lokal yang bercita
rasa internasional.
The Casts
Seiring dengan kebutuhan cerita yang
mengharuskan Rama karakter yang sedikit lebih berkembang meski porsinya tak
sebanyak dulu, maka Iko Uwais pun dituntut punya kemampuan akting yang lebih.
Untungnya Iko mampu memenuhi tuntutan tersebut dengan baik, menjadikan
karakternya lebih hidup secara emosional.
Di barisan
pemain-pemain baru hampir semuanya mampu mengisi tiap karakter dengan sangat
baik. Arifin Putra sekali lagi memerankan karakter bengis setelah sebelumnya
tampil gemilang di Rumah Dara (RD). Terasa
masih tidak sebengis di RD namun secara keseluruhan masih mampu cukup
meyakinkan sebagai anak kepala gangster yang sejatinya manja namun pemberontak.
Alex Abbad sebagai kepala gang baru justru tampil maksimal, apalagi dengan
kostum dan gesture bak Adolf Hitler. Tio Pakusadewo, seperti biasa tak perlu
diragukan lagi kharismanya dalam peran apapun, seperti halnya Oka Antara. Penampilan
paling menarik tentu saja Yayan Ruhian yang sudah menjadi langganan Gareth
sejak Merantau, tampil lagi sebagai
Prakoso. Dengan
karakter yang ditampilkan lebih emosional dan lebih dalam ketimbang Mad Dog di The Raid, Yayan ternyata mampu
menampilkan performa akting yang tak kalah apiknya dengan kemampuannya
bersilat.
Julie Estelle dan pendatang baru Very
Tri Yulisman serta Cecep Arif Rahman harus berterima kasih kepada
karakter-karakter menarik yang mereka perankan sehingga menjadi memorable dalam
ingatan penonton, selain tentu saja performa gemilang mereka yang mampu
menghidupkan kedua karakter ini. Sementara kehadiran Cok Simbara kembali
mengingatkan kita akan film-film Indonesia lawas yang pernah
diperankannya.
Technical
TR2B masih mempertahankan elemen-elemen
khas Gareth Evans yang pernah ditunjukkannya di The Raid. Mulai sinematografi, pace koreografi, hingga editing yang
membuatnya terasa mengasyikkan untuk dinikmati. Desain produksi yang stylish
mampu membangun alternate universe Jakarta
yang meski kelam namun indah, termasuk adegan salju yang terlihat sangat
artistik, kontras dengan merahnya darah.
Kehadiran score yang mampu melebur
dengan adegan-adegan meski tak semuanya menggunakan materi asli. But hey, siapa
yang bisa melupakan scoring ketika momen penting Prakoso?
Satu kekurangan yang sebenarnya bisa
diabaikan adalah cukup banyak pengucapan dialog yang tidak begitu jelas. Sayang
sekali mengingat mixing sound-nya dilakukan di Skywalker Studio milik George
Lucas. Untung saja sound effect sepanjang film mampu memberi tambahan value
dalam menghidupkan adegan-adegan kerasnya.
The Essence
Jelas sekali
TR2B lebih mengangkat lebih dalam dunia kriminal di tanah air. Kehadiran
gangster-gangster yang terdiri dari berbagai etnis, mulai pribumi, Arab, hingga
Jepang, mencerminkan hal tersebut. Jika para pemimpin gangster sekalipun
biasanya lebih mengedepankan diplomatis dan sikap yang tidak gegabah dalam
mengambil keputusan, Uco yang mewakili generasi sekarang justru tampil
meledak-ledak dan sok jagoan. Intinya, jika generasi sang ayah, Bangun lebih
mementingkan untuk dihormati, Uco hanya ingin ditakuti. 2 hal yang bertolak
belakang ini menggambarkan tipikal orang Indonesia secara umum saat ini.
In the end, sikap ingin ditakuti hanya
menghasilkan kekuasaan sesaat namun selalu berakhir dengan tragedi. Pun juga
menjadi mudah dimanfaatkan oleh pihak lain yang licik. Sementara kehormatan
justru bertahan lebih lama dan menghasilkan persahabatan dari banyak pihak.
They who will enjoy this the most
- The original The Raid fans
- Hard gory and bloody action lovers
- Crime-gangster sub-genre lovers