4/5
Action
Blockbuster
Box Office
Drama
SciFi
Sport
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review - Real Steel

Mendengar kata “robot” sama sekali tidak menarik perhatian saya akibat pengaruh Transformers yang installment ketiganya tayang tahun ini. Begitu buruknya film tersebut hingga saya agak alergi mendengar kata “robot”, termasuk ketika pertama kali membaca premise Real Steel. Yah robot lagi, robot lagi, produsernya Steven Spielberg lagi… (Transformers juga diproduseri oleh Spielberg). Tapi saya membaca banyak sekali review positif dari reviewer-reviewer luar negeri, ditambah lagi testimoni dari teman-teman yang turut memberi tanggapan positif. Alhasil saya memutuskan untuk menyaksikannya di saat-saat terakhir tayang di bioskop Surabaya.
Sebagai film hiburan, Real Steel sama sekali tidak mengecewakan. Terutama, adegan-adegan pertarungan yang ditampilkan mampu menghadirkan atmosfer keseruan dan ketegangan tersendiri. Satu hal yang menurut saya jarang dihadirkan di film-film aksi yang diedarkan beberapa belakangan terakhir ini. Karakter robot utama, Atom, yang hanya sekedar sparring robot tidak menunjukkan secara langsung kekuatannya dan terjebak dalam ke-cliché-an: “selalu menang”. Di situlah letak serunya. Kita tidak tahu apakah Atom akan mampu bertahan melawan musuh-musuhnya di ring tinju. Mungkin kita bisa menebak bahwa pada akhirnya Atom pasti menang, tapi prosesnya menuju kemenangan itulah yang membuat menarik untuk diikuti.
Sisi drama yang dicoba digali melalui hubungan ayah-anak juga dihadirkan sesuai dengan porsinya sehingga tidak terjebak ke dalam lembah haru-biru yang menye-menye dari awal hingga akhir. Justru ketidak-akuran di awal hingga pertengahan film, yang sedikit demi sedikit membangun hubungan antara Charlie-Max sehingga pada akhirnya menunjukkan persamaan dan kedekatan antara keduanya. Formula ini berhasil hingga pada saat adegan pamungkas, kita bisa merasakan haru melihat keduanya. Sisi lain yang turut diangkat dan menjadi menarik adalah perkembangan karakter Charlie yang berubah berkat kehadiran Max sehingga pada akhirnya kita menjadi bersimpatik pada karakter Charlie. Durasi dua jam terisi dengan efektif dan dengan alur yang beritme tepat. Well done, Shawn Levy!
Drama antara Charlie-Max berhasil selain karena chemistry dan alur yang dibangun, juga berkat akting keduanya yang memang mendominasi layar. Hugh Jackman sukses membuat saya sebal dengan karakternya yang arogan namun selalu berujung kegagalan. Sedangkan Dakota Goyo yang pernah memerankan Thor kecil juga berhasil memenangkan hati mayoritas penonton berkat kegigihan, kekeras-kepalaannya, dan kelucuannya dalam menari. Pantas lah Goyo digadang-gadang sebagai salah satu aktor muda yang menjanjikan. Kualitas aktingnya boleh lah.
Karakter-karakter robot yang ada memang tidak begitu menyumbangkan kedalaman emosi, namun cukup berkesan berkat desainnya yang menawan. Saya pribadi sangat menyukai bentuk NoisyBoy, tapi kesemuanya, baik protagonis maupun antagonis, tampil memukau. Tidak selalu tampak cemerlang, malah banyak sisi “rongsokan” dari masing-masing robot yang justru memberikan kesan nyata, tidak sekedar CGI. Gerakan-gerakan pertarungan robotnya sangat halus, mirip sekali dengan gerakan pertarungan manusia.
Ada banyak pesan positif yang tersampaikan melalui Real Steel. Jika banyak penonton yang berkesan dengan hubungan antara Charlie-Max, saya justru merasakan sindiran tentang hubungan kita dengan teknologi yang di sini ditampilkan dalam bentu robot. Seringkali kita terpukau oleh teknologi yang menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam kegiatan kita sehari-hari sehingga kemampuan kita sebagai manusia yang hidup semakin lama semakin berkurang. Lihat saja, untuk menjalankan robot yang bertarung saja sampai harus membuat program untuk menganalisa gerakan lawan dan memanfaatkannya untuk menyerang lawan. Berbeda dengan Atom, yang akhirnya dikendalikan langsung oleh gerakan Charlie yang notabene mantan petinju, jelas memiliki daya analisa yang jauh lebih baik serta pengalaman bertarung yang lebih tinggi daripada program komputer. Bagaimana pun, kemampuan manusia (seharusnya) melebihi teknologi (komputer). Jangan sampai kita, manusia, diperbudak oleh teknologi. Setuju?
Lihat data film ini di IMDB.