Perayaan ulang tahun perkawinan Pak Budiman (Ferry Salim) dan istrinya, Sherly (Jenny Zhang), digegerkan oleh kedatangan tamu tak terduga. Selain kedua putranya, Arnold (Dion Wiyoko) bersama istrinya yang sedang hamil tua, Laura (Eriska Rein), dan Andre (Morgan Oey) yang mengajak pacar barunya, Jane (Tansri Kemala), mendadak muncul seorang gadis muda bergaya cuek, Tika (Sheila Dara Aisha) yang mengaku sebagai anak Pak Budiman dengan salah seorang selingkuhan. Meski sempat mempercayainya karena pengalaman masa lalu, Sherly semakin penasaran dengan kebenaran identitas Tika berikut dengan tujuannya tiba-tiba datang mendatangi mereka. Apalagi nasib bisnis keluarga Pak Budiman sedang di ujung tanduk karena tender yang gagal dan mengancam kepemilikan rumah mewah mereka. Satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkan rumah mereka adalah tender dengan gubernur. Skandal keberadaan Tika bisa mengancam keberhasilan tender tersebut. Namun Tika tidak semudah dan secepat itu membuka selubung misteri identitasnya yang siapa sangka ternyata juga menyingkap rahasia keluarga Budiman sejak lama.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan eksplorasi yang ditawarkan oleh Ernest. Meski dibangun dengan pergerakan plot dan pilihan karakter yang kurang meyakinkan, setidaknya masih ada banter antar-karakter yang menggelitik seperti yang biasa diselipkan Ernest di film-film sebelumnya. Tak sepenuhnya benar jika Teka-teki Tika dikategorikan sebagai genre thriller karena sebenarnya tidak ada momen-momen yang mengancam nyawa karakter dan/atau cukup membuat penonton berdebar-debar. Simply 'misteri' mungkin adalah istilah yang lebih tepat. Pilihan yang cukup aman untuk mempertahankan rating 'Remaja' dan tak kelewat canggung dikawinkan dengan genre drama komedi seperti yang pernah dicoba Raditya Dika di Hangout. Resikonya, emosional yang dirasakan penonton tak benar-benar bisa maksimal. Satu-satunya amunisi adalah rasa penasaran yang seharusnya dibayar dengan jawaban 'twist-ending' yang memuaskan. Sayangnya, setelah diulur-ulur tanpa alasan yang cukup rasional dan perkembangan yang juga terasa diirit-irit, revealing yang ditawarkan Ernest terasa sekadar lewat begitu saja. Belum cukup untuk membuat penonton peduli akan rahasia yang tersingkap.
Mungkin menyadari akan revealing yang tergolong low-key bagi sebagian besar penonton, Ernest kembali melakukan turnover yang sangat signifikan. Bahkan sudah termasuk ke dalam genre/conceptual-shift. Bagi beberapa penonton pilihan ini bisa jadi terasa terlalu dipaksakan atau trying too hard untuk memberi kesan 'wah'. Di sisi lain dengan point of view yang lebih objektif, apa yang dilakukan Ernest tidak ada yang salah dan masih punya relevansi yang masuk akal dengan guliran plot utama sejak awal. Ada yang menyebut film Teka-teki Tika hanya sekadar intro menuju sebuah plot yang lebih besar. Tak salah, tapi selama plot utama di film ini sudah tergelar utuh dari perkenalan hingga penyelesaian, sekali lagi apa yang dilakukan Ernest di sini sebenarnya juga masih sah-sah saja.
Jika pengembangan plot dan konsep yang ditawarkan Ernest dianggap gagal untuk memberikan impresi lebih, setidaknya masih ada penampilan para aktornya yang saling berinteraksi dengan asyik sebagai sebuah sajian komedi. Sekali lagi, jika Anda cocok dengan gaya komedi yang ditawarkan Ernest, karena bagaimana pun komedi adalah salah satu genre yang resepsinya akan beragam antara satu penonton dengan yang lain, tergantung dengan selera dan pengalaman pribadi masing-masing.
Teknis Teka-teki Tika sebenarnya juga tergarap dengan baik di balik kesan yang terlalu sederhana dan mostly di indoor. Selain desain produksi Tepan Kobain yang harus diakui sedikit banyak terinspirasi dari Knives Out (setidaknya demikian kesan yang ditampilkan dari trailer tapi somehow sama sekali tak terasa di film utama), pergerakan kamera yang dilakukan Arfian cukup memaksimalkan eksplorasi ruang sempit sesuai dengan kebutuhan penceritaan dan detail adegan. Editing Ryan Purwoko pun masih membuat pace Teka-teki Tika terasa berimbang dan plot bergulir lancar di balik durasi yang hanya sekitar 83 menit. Momen-momen komikal dan kedinamisan genre-shift tergolong berhasil, meski momen revealing-nya masih belum cukup berhasil elevated.
Pada akhirnya harus diakui hasil akhir Teka-teki Tika akan mendapatkan resepsi yang beragam, antara yang bisa menerima (baca: menikmati) dan merasa aneh dengan pilihan-pilihan kreatif Ernest di sini. Mungkin tidak bisa memuaskan semua pihak, tapi juga tidak bisa dikatakan asal buat. Ada cukup banyak hal yang masih bisa diapresiasi karena tergarap dengan layak. Selebihnya, selera masing-masing penonton lah yang menentukan dan itu sah-sah saja.
Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.