Cinta Bete
Konflik Asmara vs Iman
yang Tertimbun
Konflik-konflik Klise dan Dangkal
Khas Indonesia
Didukung aktor Marthino Lio, Hana Malasan (22 Menit dan Langit Kala Senja), dan Yoga Pratama, Cinta Bete dinominasikan di Festival Film Indonesia 2021 untuk 10 kategori, termasuk Penulis Skenario Asli Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Pemeran Utama Perempuan Terbaik untuk Hana Malasan, Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik untuk Djenar Maesa Ayu, dan Film Cerita Panjang Terbaik. Meski tidak ada satu pun kategori yang berhasil dimenangkan, tapi tentu saja prestasi ini tidak bisa diremehkan begitu saja. Kualitas Cinta Bete akhirnya bisa dibuktikan penonton Indonesia mulai 18 November 2021 di bioskop.
Bete Kaebauk (Daniella Tumiwa) dan Emilio (Adam Farrell) sudah saling jatuh cinta sejak SMA. Setelah keluarga satu-satunya, sang kakak tewas gantung diri, Emilio memilih untuk masuk seminari selulus SMA. Menginjak dewasa, Bete (Hana Malasan) bertemu dengan seorang pemuda bernama Alfredo (Yoga Pratama) dan saling jatuh cinta. Namun keluarga Bete yang tergolong bangsawan menolak lamaran Alfredo karena 'mas kawin' yang ditetapkan keluarga Bete tidak bisa dipenuhi. Alfredo dan Bete memilih kawin lari tapi ternyata Alfredo memperlakukan Bete dengan kasar hingga menimbulkan trauma berat bagi Bete. Mendengar kondisi Bete yang memprihatinkan, Emilio (Marthino Lio) iba dan memilih untuk merawat Bete hingga pulih di sebuah rumah kosong. Warga sekitar mulai menganggap Emilio dan Bete kumpul kebo dan dinilai meresahkan.
Dari jalinan plot yang ditawarkan, Cinta Bete sebenarnya punya potensi menawarkan konflik menarik pergulatan batin Emilio antara keimanan yang memilih hidup selibat sebagai calon pastor dan perasaan cintanya terhadap Bete sejak sekian lama. Sayang, film lebih memilih untuk mengambil sudut pandang dari karakter Bete demi mengangkat topik 'nasib wanita' dalam budaya patriarki yang memang seringkali menjadi topik favorit, terutama di skena film festival. Alhasil topik yang diangkat klise dan itu pun tidak pernah benar-benar digali secara mendalam selain hanya sekadar etalase kemalangan nasib Bete yang bertubi-tubi untuk 'mengemis' iba penonton. Padahal film sebenarnya sempat menunjukkan adegan-adegan pergulatan iman Emilio yang jika diberi porsi utama dan digali lebih mendalam, bisa punya memancing analisis intelektual sekaligus emotional impact yang kuat.
Untung saja Cinta Bete masih menawarkan penampilan yang tergolong baik dari jajaran cast-nya. Tak hanya aktor-aktris yang sudah punya jam terbang cukup, seperti Marthino Lio, Hana Malasan, dan Djenar Maesa Ayu, tapi juga penampilan dari aktor muda Adam Farrel (Jenderal Kancil the Movie, Move On, dan EL) dan pendatang baru Daniella Tumiwa. Yoga Pratama masih terjebak di tipikal pria brengsek dan terlihat trying too hard to imitate Reza Rahadian, sementara Gito Joewono juga sering terasa 'terlalu teater', tapi overall masih layak untuk diapresiasi meski tak ada yang benar-benar stand out.
Segi teknis pun tertata baik, terutamanya sinematografi Roy Lolang sendiri yang seperti biasa, tahu bagaimana bercerita (setidaknya, menyampaikan informasi) secara visual yang masih punya 'rasa' dan dengan latar alam Atambua yang memang indah, menghasilkan gambar-gambar panoramik yang berkesan. Musik skor dari Thoersi Argeswara sayangnya masih kurang memberi rasa lebih ke dalam adegan-adegan yang disuguhkan, pun juga belum cukup memorable.
Pada akhirnya Cinta Bete hanya menjadi drama 'serba malang' biasa yang terlalu berusaha membuat penonton iba, dengan perkembangan plot yang tergolong bertele-tele dan tak pernah benar-benar menggali satu topik pun secara cukup mendalam, bahkan bagi saya pribadi, menjemukan sejak sebelum 30 menit pertama. Selebihnya, coba saja menikmati penampilan para aktor-aktris sekaligus latar alam Atambua-nya. Siapa tahu masih bisa membuat Anda betah duduk manis selama 90 menit.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.