3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Dolby Atmos
Fantasy
Franchise
Indonesia
Jagat Sinema Bumilangit
Politic
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
Superheroes
Überblick
{Überblick}
{Überblick}
Gundala:
Negeri Ini Butuh Patriot
Membuat film aksi superhero adalah sebuah pertaruhan, apalagi bagi dunia perfilman Indonesia yang masih meraba-raba dalam menemukan bentuk dan kekhasan. Budget yang sudah pasti tidak bisa tanggung, tapi dengan resiko selera penonton yang sudah terlanjur terbiasa dengan style Hollywood tentu punya ‘selera’ atau standar yang tinggi pula. Ada yang sempat mencoba karakter superhero baru seperti Garuda Superhero (2015) dan Valentine: The Dark Avenger (yang memulai rencana semesta Skylar Comics) tapi sambutan penonton kurang memuaskan. Itulah mengapa Gundala yang komiknya sudah lahir sejak 1969 (dan sempat diangkat ke layar lebar pada tahun 1981) belum juga terealisasi paska kebangkitan film nasional era ’90-an hingga kini. Sempat hampir berada di tangan Hanung Bramantyo (masih ingat hint-nya yang bertebaran di Talak 3?), Gundala akhirnya jatuh di tangan Joko Anwar yang lebih identik dengan genre horror dan thriller.
Tak hanya film tunggal, Gundala versi Joko ternyata direncanakan untuk dibuatkan Jagat sinema yang saling berhubungan atas nama Jagat Sinema Bumilangit (JSB). Jika di versi komik Jagat Bumilangit hanya meliputi era Patriot (terdiri dari Gundala, Godam, Aquanus, dan Maza) yang terbit tahun 1996, Jagat Sinema Bumilangit yang diumumkan pertengahan 2019 ini juga ‘merangkul’ era Legenda, Jawara, dan Revolusi. Bumilangit bersama dengan Screenplay Films dan Legacy Pictures ‘belanja’ berbagai karakter pahlawan super lokal legendaris seperti Si Buta dari Goa Hantu, sekaligus menciptakan karakter-karakter baru yang diperkenalkan lewat webtoon hingga konon terkumpul sebanyak 1.100+ karakter. Ini jelas bukan grand design yang main-main hingga sekian tahun ke depan.
Selain sudah mendunianya film-film aksi lokal seperti The Raid, berikut aktor-aktor laga yang dibesarkannya hingga menembus pasar Amerika Serikat, kesuksesan Marvel Cinematic Universe dan DC Extended Universe, bahkan di pasar domestik kita, membuat mereka yakin penonton kita sudah siap untuk menerima JSB sekaligus mencoba peruntungan di pasar global. Cemooh dari fanbase MCU dan DCEU tentang karakter-karakter lokal yang dianggap plagiat memang tidak bisa dihindari. Maka tugas dan beban JSB lah untuk membuktikan bahwa jagat dan karakter-karakternya mampu berdiri sendiri, terlepas dari bayang-bayang supehero asing. Tentu saja ekspektasi penonton kita kian melambung, tak sabar menantikan tonggak sejarah baru dalam sinema Indonesia. Keberhasilan tonggak yang akan punya pengaruh besar terhadap film-film selanjutnya di JSB maupun jagat sinema lainnya, seperti Satria Dewa Gatotkaca dan kelanjutan jagat Skylar Comics.
Berbeda dari film versi 1981 yang begitu setia dengan komik, Gundala versi 2019 memilih untuk merombak ground concept dengan tetap mempertahankan nama-nama karakter kuncinya. Sancaka, sosok asli Gundala, versi Joko tidak lagi seorang ilmuwan melainkan teknisi mesin di percetakan surat kabar The Djakarta Post dengan latar belakang keluarga miskin dimana sang ayah (Rio Dewanto) adalah seorang buruh pabrik yang tewas dalam sebuah aksi unjuk rasa, sementara sang ibu (Marissa Anita) pergi entah ke mana. Hampir satu jam pertama, Gundala mencoba memberikan gambaran kondisi psikologis Sancaka lewat berbagai kejadian yang tergolong ekstrim apalagi di usianya, termasuk pertemuan dengan Awang yang menyuntikkan doktrin berbanding terbalik dari apa yang diajarkan sang ayah. Plot bergulir dengan lancar berkat penampilan aktor-aktor cilik yang luar biasa, terutama Muzakki Ramdhan sebagai Sancaka dan Faris Fajar (putra Cecep Arif Rahman) sebagai Awang. Tak hanya mereka, aktor-aktor cilik pendukung lainnya pun tampil cukup meyakinkan, termasuk untuk urusan aksi laga.
Film kemudian disambung ketika Sancaka dewasa dimana kondisi negeri semakin carut-marut. Lewat tangan kanannya, Ganda Hamdan (Aqi Singgih, personel band Alexa), bos mafia paling ditakuti, Pengkor (Bront Palarae) mencoba mengendalikan para wakil rakyat. Ada yang berpura-pura pasang wajah manis di depan Pengkor, tapi tak sedikit yang memilih untuk menghindari berurusan dengannya. Kondisi semakin kacau ketika terjadi wabah virus yang disuntikkan ke beras seluruh penjuru negeri yang menurut ilmuwan bisa mengakibatkan bayi-bayi di dalam kandungan para ibu tumbuh menjadi manusia tak bermoral, tak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Rakyat porak-poranda.
Sementara itu Sancaka dewasa (Abimana Aryasatya) yang masih bergelut dengan trauma masa kecilnya bertemu sang tetangga, Wulan (Tara Basro), aktivis pasar, yang membuat Sancaka mengingat kekuatan ajaib yang selama ini bisa dilakukannya tiap kali ada petir menyambar sekaligus membulatkan tekad untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diajarkan oleh sang ayah ketika kecil.
Paruh kedua seharusnya menjadi titik balik penting karakter Sancaka sebagai sosok titular. Sayangnya justru dijubeli oleh berbagai ‘kepentingan’, terutama penggambaran kondisi negeri lewat banyak sekali karakter. Harus diakui, penggambaran karakter-karakter pendukung, misalnya keluarga Dirga Utama-Indira Rahayu (diperankan dengan sangat baik oleh putra Christine Hakim, Zidni Hakim, dan Putri Ayudya), digarap dengan sangat baik dan punya emotional impact yang kuat, termasuk dalam upaya membangun teror atas sosok Pengkor. Namun mungkin faktor penyusunannya yang terkesan bak puzzle acak dengan koherensi antar-adegan yang kurang, membuatnya terasa ‘kacau’. Belum lagi ditambah unsur-unsur politik untuk semakin memperkelam penggambaran suasana negeri yang direpresentasikan lewat dialog-dialog yang mungkin di satu sisi, kritis, tapi dengan dosis yang demikian jadi terasa terlalu ‘bawel’. I don’t mind with the dark atmosphere that you might say resemblance to DCEU’s, especially The Dark Knight Trilogy, but the second half rather felt like watching a news program that continuously tells about injustice grumbles or listening to a long oration. At some point, tiring. Untungnya bagi saya pribadi, belum sampai mencapai titik bosan karena selalu ada satu-dua hal yang menarik disimak in-between. Sayangnya, bangunan penggambaran suasana inilah yang harus mengorbankan perkembangan karakter Sancaka sendiri. Penonton hanya bisa melihatnya lewat rangkaian adegan mimpi dan halusinasi sebagai penggambaran trauma masa kecil seperti fragmen-fragmen singkat di sela-sela adegan politis. Masih digarap dengan taste ‘horor’ khas Joko (mengingatkan saya akan adegan-adegan halusinasi di Pintu Terlarang), tapi tentu saja belum cukup untuk mendapatkan depiction yang utuh tentang perkembangan karakter Sancaka, apalagi untuk bisa sampai bersimpati padanya. Mungkin faktor itu pula yang membuat Abimana terlihat kaku, datar, dingin, dan terlihat selalu dalam kondisi kebingungan.
Untuk adegan aksi, beberapa koreo oleh Cecep Arif Rahman tergarap dengan menarik, fast-paced dan direkam dengan cukup baik oleh Ical Tanjung. Belum ada yang sampai tahap signatural seperti halnya, sebut saja, seri-seri The Raid, dan masih ada beberapa yang terasa terlalu staged tapi secara keseluruhan, upaya yang cukup berhasil untuk dinikmati secara sinematik. Satu hal yang cukup disayangkan adalah bahwa finale-nya justru tidak tereskalasi dengan baik. Kalah seru dan sangat kurang rapi dibandingkan adegan-adegan laga sebelumnya.
Secara art, sebenarnya tak perlu meragukan selera Joko. Mulai desain karakter hingga set yang khas dengan mengambil banyak referensi yang tergolong cukup relevan, mulai dari ‘dunia bawah tanah’ a la John Wick, Kill Bill terutama lewat karakter Desti Nikita (Asmara Abigail) yang mau-tidak mau mengingatkan saya akan sosok Gogo Yubari, juga flashback masa lalu Pengkor yang bak flashback asal-usul O-Ren Ishii, film-film DCEU, Kick-Ass, hingga trivia-trivia maupun kemiripan style dengan film-film Joko sebelumnya (lagu Kelam Malam dari Pengabdi Setan, penyingkapan musuh selanjutnya a la Kala: Dead Time, adegan pergunjingan di galeri serta set salah satu sudut kota yang mengingatkan saya akan Herosase di Pintu Terlarang, dan masih banyak lagi).
Untuk teknis audio mixing, beberapa dialog terdengar kurang jernih, terutama untuk dialog Pengkor yang sering terdengar seperti mumble. Tata suara Dolby Atmos yang menjadi salah satu komoditas sebenarnya masih kurang dimaksimalkan, terutama dalam memberikan kesan dimensi ruang dan pergerakan suara yang signifikan. Namun sebagai project film Indonesia pertama yang berani menggunakan sistem Dolby Atmos, tergolong tergarap baik. Setidaknya masih ada beberapa suara yang terasa berasal dari sumber suara yang berbeda-beda meski secara keseluruhan belum memberikan signifikasi berarti. Musik Aghi Narottama, Bembi Gusti, dan Tony Merle punya aura a la blockbuster Hollywood dan mampu memberikan nyawa lebih dalam tiap adegan meski belum ada yang benar-benar menjadi signature tersendiri. Namun keputusan untuk menampilkan pemenang-pemenang kontes lagu tema yang terlalu pendek dan bergantian pada credit title, jujur, cukup mengganggu after-taste.
Above all, Gundala memang masih jauh dari sempurna. Pun dibandingkan dengan karya-karya Joko Anwar sebelumnya, bisa jadi menjadi salah satu yang terlemah. Namun setidaknya ia masih punya hint-hint ke installment-installment JSB selanjutnya, terutama lewat kemunculan karakter-karakter, yang masih mampu memberikan excitement lebih. Sehingga sebagai pembuka jalan bagi semesta jagat sinematiknya, Gundala jelas lebih dari sekedar layak tonton. Sebuah kebanggan sekaligus tonggak sejarah baru sinema Indonesia yang haram untuk dilewatkan di layar bioskop dengan kualitas fasilitas mumpuni. Tentu kita semua menginginkan pengembangan JSB dan jagat-jagat sinema yang lebih banyak lagi dari negeri ini, bukan? Well, they’ve made a start, now it’s your turn to contribute.