The Jose Flash Review
Aruna & Lidahnya

Nama Edwin di ranah festival film memang menjadi salah satu yang paling populer di Indonesia, terutama lewat Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), Kebun Binatang (2012), salah satu segmen di film omnibus, Belkibolang (2010), dan beberapa film pendek sebelumnya. Tahun 2017 silam Edwin akhirnya memberanikan diri menggarap film untuk ditayangkan di bioskop komersial atas nama Palari Films bersama produser ‘langganan’-nya, Meiske Taurisia, dan Muhammad Zaidy yang sebelumnya pernah menjadi co-produser Athirah. Posesif, film komersial perdana mereka disambut baik dengan angka penonton yang tergolong baik untuk skala dan genrenya, maupun raihan berbagai penghargaan bergengsi. Tahun 2018 ini, Edwin dan tim Palari Films-nya mencoba melahirkan karya komersial keduanya, Aruna & Lidahnya (A&L), yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak. Menggandeng jajaran aktor papan atas Indonesia, mulai Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Hannah Al Rashid, Oka Antara, Desta, hingga Ayu Azhari, A&L juga menarik perhatian Go Studio, CJ Entertainment, Phoenix Films, dan Ideosource untuk turut mendukung produksi. Dengan nama-nama ‘jaminan mutu’ yang terlibat dan trailer yang lebih ringan serta menghibur ketimbang karya-karya Edwin sebelumnya, A&L jelas punya potensi yang besar untuk mendulang sukses. Menggabungkan tema kuliner dan persahabatan (setidaknya itu yang ‘dijual’ utama lewat trailernya meski pembaca novelnya tentu tahu isu flu burung dan latar belakang serta perkembangan kepribadian karakter-karakternya punya porsi yang lebih dominan), A&L siap ‘disantap’ oleh penonton Indonesia mulai 27 September 2018.

Aruna ditugaskan oleh bosnya untuk menginvestigasi kasus flu burung yang melanda di beberapa daerah di Indonesia; Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang, ketika baru saja berniat kulineran bersama sahabatnya yang seorang chef, Bono. Alhasil ia memutuskan untuk menggabungkan kedua rencana ini sekaligus. Di tengah investigasi, Farish, seorang mantan rekan kerja yang sekarang sudah pindah ke perusahaan lain dan sempat ditaksirnya, muncul dan mengaku diutus perusahaannya untuk membantu investigasi Aruna. Bono pun diam-diam mengajak Nad, seorang penulis buku terkenal yang ditaksir Bono sejak lama tapi ia belum punya cukup keberanian untuk menyatakannya. Perjalanan investigasi dan kuliner berjalan beriringan yang membuat mereka semakin saling mengenal dan berkembang menjadi sesuatu yang tak mereka duga sebelumnya.

Secara garis besar, ada cukup banyak tema yang ingin disampaikan lewat A&L versi film; unspoken love, investigasi flu burung, persahabatan, dan kuliner. Keempatnya disampaikan lewat konflik yang tak kalah beragamnya pada permukaan terluar jalinan plotnya: unspoken love, baik antara Aruna dan Farish maupun Bono dan Nad, investigasi flu burung dengan berbagai kejanggalan, persahabatan yang ‘unik’ antara ketiganya (Farish sebelumnya tidak termasuk dalam ‘genk’), bahkan sampai konflik yang mungkin menjadi inspirasi judulnya; lidah Aruna yang tak lagi sepeka dulu dalam mencicipi makanan sehingga Bono sampai merekomendasikan ‘terapi’ untuk Aruna: wisata kuliner di kota-kota yang dikunjungi mereka saat bertugas.

Oke, mari kita breakdown satu per satu konflik yang dihadirkan di A&L. 

Unspoken Love

Saya merasakan konflik ‘unspoken love’ menjadi yang paling kuat dan dominan di A&L, terutama sekali antara Aruna dan Farish. Bahkan konflik ‘investigasi flu burung’ pun sebenarnya menjadi drive utama untuk mencapai satu titik balik antara keduanya. Sementara di sub-plot diselipkan pula unspoken love antara Bono dan Nad. Well, saya bisa menerima kecanggungan Bono dalam mengutarakan perasaannya kepada Nad. Apalagi dengan karakteristik Nad yang wajar jika membuat Bono agak ‘keder’. Sayangnya kisah keduanya ditutup dengan ‘nggak banget’. Nggak ada hujan, nggak ada badai, bahkan Bono nggak menunjukkan kegugupan atau kegundahan, tiba-tiba out of nowhere mengutarakannya begitu saja. Sok asyik dan nggak terdengar serius. Justru reaksi karakter Nad yang sampai keheranan like, “Seriuously? Udah gitu aja?” adalah respon yang mewakili pikiran saya. All those time dan ujung-ujungnya gitu aja? What? Lagi ah… SERIOUSLY???

Persahabatan yang ‘unik’

Ini merupakan salah satu yang paling banyak dipuji penonton saat premiere screening. Kebanyakan memuji A&L karena penggambaran persahabatan yang sehari-hari banget, lengkap dengan celetukan-celetukan ‘ngalor-ngidul’ yang menggelitik. Harus saya akui beberapa celetukannya memang menggelitik dan bahkan ‘menohok’, tapi kalau ‘sehari-hari banget’ dan asyik… sekali lagi, SERIOUSLY??? Maaf ya, nggak tahu lagi deh pergaulan kalian sehari-hari seperti apa, tapi buat saya pribadi kalau punya genk yang sudah lama terbentuk dan akhirnya punya gaya gaul seperti itu, mungkin saya akan pelan-pelan menjauhinya. I mean, come on! Semuanya terasa begitu dingin dan kaku seolah-olah masing-masing memendam rahasia lantas bertingkah laku fake di depan sementara sudah siap-siap untuk saling menusuk dari belakang. Kesan saya ini bukannya tanpa alasan yang kuat. Lihat saja adegan dimana Nad tampak mendekati Farish padahal dia tahu betul bahwa Aruna memendam rasa sejak lama kepada Farish. Ketika press conference, Hannah menyebutkan pesan, “persahabatan yang dari luar kesannya saling menjatuhkan tapi sebenarnya saling dukung. Nad berniat men-tes Farish, apakah layak untuk Aruna atau tidak.” 

Hah? Seriously? Di film tidak ada sama sekali lho yang menunjukkan bahwa Nad hanya berniat men-tes Farish. Bahkan tak ada adegan yang cukup kuat secara spesifik menunjukkan kepedulian Nad terhadap Aruna. Mana ketehe kalau nggak dengerin statement Hannah waktu conference press? Adegan Nad yang menganalogikan Aruna sebagai wine, bukannya rendang (oh hey, ini juga tergolong inferioritas kuliner lokal lho! Penistaan terhadap kuliner asli Indonesia yang padahal sudah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia!) dan Nad memberikan persediaan pembalutnya kepada Aruna yang lagi ‘dapet’ tapi nggak bawa pembalut? Yeah, right. Dengan penggambaran karakter Nad yang lebih tertarik menjalin hubungan yang ‘menantang’, MENURUT NGANA GUE BISA BERPIKIR POSITIF TERHADAP KARAKTER NAD, HAH? I need to feel more than just what has been said in the surface. Once again, sorry to say, di permukaan terluarnya tetap saja terasa sangat fake. Celetukan ngalor-ngidul saja tidak cukup untuk menjadikan sebuah persahabatan berkesan nyata dan asyik. Kecuali mungkin jika Anda tidak punya lingkup pergaulan sama sekali atau lingkungan pergaulan Anda tidak asyik sama sekali, mungkin penggambaran persahabatan yang fake dan sok asyik seperti di sini masih terasa mendingan.

Investigasi Flu Burung

Sebagaimana novelnya, investigasi flu burung sejatinya menjadi plot-driver dari poin-poin penting nya; persahabatan dan unspoken love. Sayangnya investigasi flu burung di film termasuk salah satu elemen yang paling lemah digarap. Seolah-olah seperti sudah tak bersemangat untuk menyampaikannya, sekedar ada sebagaimana novelnya karena toh ujung-ujungnya tak ada yang terjadi (itulah sebabnya saya mengkategorikan A&L sebagai another ‘nothing happened’ movie). Sekedar bertindak sebagai plot-drive ke arah hubungan antara Aruna dan Farish, elemen investigasi seharusnya bisa menjadi daya tarik utama jika digarap baik, mengingat ini adalah isu sosial yang sempat marak dan menarik untuk ditelusuri. Alih-alih digarap serius dengan intrik yang koheren dan menarik, sisi investigatifnya malah dijadikan bahan becandaan yang tidak nyambung (ingat adegan seorang bapak yang malah menceritakan soto ayam buatan mendiang istrinya ketika diwawancara. Aruna yang sejak awal sudah terlihat tak semangat menjalankan tugasnya pun sempat terlihat excited tapi kemudian diredam oleh Farish). 

Jangankan perkembangan konflik investigasi, detail latar belakangnya pun tak jelas. Di versi novel, Aruna disebutkan berprofesi sebagai konsultan ahli wabah dari Kementerian Kesehatan yang di-fiksi-kan menjadi Kementerian Mabura. Sementara di versi film Aruna dikesankan seperti seorang wartawati yang ditugaskan menyelidiki untuk artikel. Wajar jika kesan ini yang dirasakan penonton dari non-pembaca novelnya. Ini pun bukan langkah yang baik mengingat wartawan/wartawati tidak punya hak dan akses sedemikian dalamnya ketika menginvestigasi. Kalaupun ia ditugaskan oleh PWP (yang sebenarnya lebih sebagai sebuah program, bukan direktorat) ataupun One World (NGO fiktif juga), seberapa jauh ranah mereka boleh turut campur dalam bencana wabah, mengingat pada kenyataannya hanya Departemen Kesehatan yang berhak menanganinya? Sorry again, in this department, whatever the purpose was, a big failure.

Wisata Kuliner

Sejak awal mengumumkan produksi, A&L versi film meletakkan wisata kuliner sebagai komoditas utamanya. Wajar, mengingat inilah elemen yang paling menarik untuk ‘dijual’ secara luas. Memang benar wisata kuliner menjadi komponen yang menarik di sini. Lihat saja bagaimana tiap segmen kota yang dikunjungi selalu dibuka dengan sajian khasnya, lengkap dengan titel nama kuliner dan asalnya. Penyajiannya memang menggiurkan dan cukup merepresentasikan tiap kota, tapi korelasi dan relevansinya dengan elemen-elemen penting di film lainnya teramat sangat kurang. Malahan saya berani menyatakan bahwa elemen kuliner hanya ‘tempelan’ yang dimasukkan untuk memanjakan mata (dan nafsu makan) penonton di tengah elemen-elemen lain yang mungkin kalah menarik bagi kebanyakan penonton. In short, pen-distraksi minat penonton. Menarik sebenarnya upaya untuk menganalogikan makanan dengan kepribadian manusia tapi sayangnya hanya sebatas celetukan saja dan itupun bersifat sangat umum, tak sampai secara spesifik terkoneksi dengan karakter-karakter yang ada ataupun tak sampai terkesan menjadi poin penting dari film sebagaimana yang saya harapkan setelah melihat materi-materi promo yang jauh lebih menarik dariapda filmnya sendiri. Ada upaya menganalogikan rujak soto dengan hubungan antar manusia yang disampaikan karakter Aruna yang mana punya relevansi yang cukup kuat dengan plot. Sayang hanya dilakukan sekali. Andaikan dilakukan secara konsisten di tiap kota yang disinggahi mungkin A&L akan menjadi sajian yang jauh lebih ‘nyambung’ dan secara filosofis, menarik.

Aruna dan Lidahnya

Boleh saja ini menjadi konflik yang bahkan sampai diabadikan menjadi judul, baik novel maupun film. Namun sayangnya ini justru menjadi konflik yang paling sekedar ada untuk menjelaskan judulnya. Hanya ada tiga adegan yang merepresentasikan konflik ini sepanjang film. Pertama, ketika Aruna mulai menyadari ketidak mampuannya ‘me-rasa’ dengan lidahnya secara mendetail, yang kemudian menjadi alasan ber-wisata kuliner bersama Bono. Kedua, adegan imajiner (baca: mimpi) yang menggambarkan bahwa Aruna berusaha ‘menyembuhkan’ lidahnya dengan es batu, entah apa tujuannya. Mungkin menggambarkan seberapa desperate dirinya. Ketiga, bagian konklusi di mana Aruna menyampaikan epilog-nya. Sebuah penutup yang tidak terlalu nyambung dengan konflik perlidahan juga sih. Malahan justru lebih sebagai follow-up dari pernyataan ‘siapa yang butuh ‘dengan siapa’ dalam hal mencicipi makanan?’ yang dilontarkan di prolog. But yeah, boleh lah sebagai konklusi ‘gabungan’. But still, ini merupakan elemen yang paling ‘asal ada’ sepanjang film. 

Aruna dan masa kecilnya

Di novel, penelusuran masa kecil Aruna bersama kedua orang tuanya menjadi salah satu elemen yang cukup menarik sebagai materi analisis perkembangan karakter Aruna. Sementara di film hanya diwakilkan lewat sebuah konversasi lewat telepon antara Aruna dan ibunya soal…. NASI GORENG SI MBOK. Ya sebenarnya boleh sih menggunakan perwakilan kuliner dalam menggambarkan hubungan Aruna dan sang ibu (yang bahkan di percakapan lewat telepon tak terasa emosi yang cukup meyakinkan sebagai ibu dan anak), tapi kalau cuma satu adegan saja, buat apa? Kalau saya sih, mending tidak dimasukkan sekalian daripada memaksa masuk tanpa tujuan. We don’t need to know that side about Aruna anyway.

So demikianlah yang mengganjal saya selama menonton A&L. Begitu banyak pertanyaan dan hal yang mengganjal saya, untung saja masih ada satu-dua celetukan witty antar-karakter yang masih bisa membuat saya sekedar tersenyum. Dari keempat karakter utama yang sama-sama terlihat fake-nya dalam bersikap, Dian Sastrowardoyo yang terlihat paling menarik sebagai Aruna. Tak hanya lewat konsep ‘breaking the fourth wall’ (karakter berbicara langsung ke penonton seperti halnya Deadpool), tapi juga ekspresi wajah dan gesture ketika berbicara yang paling cocok dengan konsep karakteristik yang serba dingin dan kaku. Penampilan Nicholas Saputra yang laid-back sebagai Bono juga sebenarnya masih sangat enak diikuti. Sayang satu adegan penting dimana ia akhirnya memberanikan diri menyatakan perasaan kepada Nad meruntuhkan konsistensi karakternya seketika. Hannah Al Rashid sebagai Nad dan Oka Antara sebagai Farish pun sebenarnya tak tampil buruk. Malahan sangat sesuai dengan porsi peran masing-masing. Sayangnya penggambaran dan pengembangan karakter yang diberikan tak berhasil menarik simpati saya sama sekali.

Kali ini juga Edwin kembali menyelipkan adegan-adegan surealis di sana-sini yang sempat absen di Posesif. Tak ada salahnya juga jika punya tujuan yang jelas di tengah adegan-adegan yang sudah sangat realistis. Namun sekali lagi harus disayangkan penyematan-penyematan ini terlihat seperti out of nowhere yang justru menghambat feel koherensi antar adegan (nyedot pakai curly straw?), tanpa tujuan yang benar-benar penting (Bono dan Farish balapan kencing? Buat apa? Persaingan? Persaingan yang mana?) dan bisa jadi, superfisial. Jujur, saya jauh lebih suka ketika Edwin menggarap film yang memang berkonsep surealis seperti Kebun Binatang. Ketika style yang serupa coba diimplementasikan ke formula yang pop seperti A&L jadinya malah serba maksa dan sok asyik. Untungnya masih ada tracklist beragam yang setidaknya masih memberikan sedikit spirit (benar-benar, tidak sok) ‘asyik’ dalam film, termasuk lagu-lagu lawas seperti Aku ini Punya Siapa dari January Christy dan Tentang Aku dari Jingga yang  merepresentasikan usia karakter-karakternya dengan baik, berpadu serasi dengan lagu-lagu baru seperti Takkan Apa dari Yura Yunita, Lebuh Rasa dan Lamun Ombak dari Mondo Gascaro, serta Antara Kita dari Monita Tahalea. 

Dengan berbagai elemen yang berniat dimasukkan ke dalam versi film, A&L seharusnya bisa dikemas dengan relevansi yang jauh lebih kuat atau tidak perlu serakah memasukkan kesemua elemen-elemen dari novelnya untuk menjaga fokus korelasi antar elemen. Materi asli yang sudah ‘ngalor ngidul’ bukanlah alasan untuk membuat filmnya berjalan di jejak yang sama. Sayangnya film A&L tak menjadi produk yang memperbaiki versi novelnya. Malahan dengan durasi yang terbatas dan keharusan menghamba kepada kenyamanan penonton dalam menikmati plotnya, kesemuanya justru terkesan tumpang tindih dan random. Penonton umum mungkin masih menikmati permukaan terluarnya yang remeh-temeh, tapi dengan berbagai upaya untuk memberikan nilai lebih di belakangnya, bukankah sebenarnya sangat disayangkan dan terkesan mubazir? 

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.