The Jose Movie Review
Ender's Game

Overview


Sci-fi agaknya memang menjadi genre yang mendominasi tahun 2013 ini. Menarik, setelah beberapa tahun film Hollywood hanya diramaikan oleh kisah-kisah superhero dan mitologi yang sudah diperas habis-habisan sedemikian rupa hingga mencapai titik jenuhnya. Gladly, most of the sci-fis this year were above average. Bahkan ada beberapa judul yang berhasil menjadi sci-fi terbaik sepanjang satu dekade terakhir. Jujur, awalnya dari sekian banyak judul film sci-fi yang rilis tahun ini, Ender’s Game (EG) bukanlah termasuk yang menarik minat saya. Membaca premise dan melihat dari trailer, EG dipromosikan sebagai kisah sci-fi human vs alien biasa. Kalau pun terlihat unsur “the chosen one”, promo-promonya tampak biasa-biasa saja. Mungkin hanya jajaran cast berkualitas yang berhasil sedikit menggelitik rasa penasaran saya.
But hey, I gave it a chance and suprisingly, EG has stolen my heart! Saya tidak peduli apa kata orang, terutama yang berasal dari penggemar novelnya. It’s very very good in most of its aspects. Mari kita mulai melihat dari kacamata film sci-fi manusia vs alien biasa. EG memang tidak begitu tertarik untuk memamerkan adegan laga seru dan berdarah-darah ala Prometheus atau Starship Troopers. Bahkan kita hanya akan disuguhi pertarungan dengan bermodalkan strategi brilian yang dikontrol dari dalam pesawat luar angkasa. Tapi jangan salah, ke-brilian-an karakter Ender dalam berstrategi jauh lebih menarik daripada pertarungan kontak fisik langsung seperti kebanyakan action sci-fi. Beberapa adegan latihan di tiap tingkatan sekolah disuguhkan satu per satu tanpa terasa membosankan, berkat visualisasi strategi yang berbeda-beda dan menarik untuk disimak.
Lanjut kita lihat EG lebih dalam lagi, yaitu dari segi pengembangan karakter, terutama karakter utama, Ender Wiggin. Di sinilah letak kekuatan utama EG versi film sehingga berhasil menjadi sebuah kisah yang sangat kuat. Ia tak hanya membuat karakter Ender sebagai “the chosen one” biasa yang entah bagaimana tiba-tiba muncul sebagai karakter dengan predikat tersebut, seperti layaknya Anakin Skywalker di franchise Star Wars Saga, Harry Potter di franchise Harry Potter, Neo di franchise The Matrix, atau Katniss di franchise The Hunger Games. Secara detail namun tak bertele-tele, Gavin Hood menuliskan karakter Ender dengan alasan yang jelas kenapa ia menjadi “the chosen one”, jauh sebelum cerita menobatkan dia predikat tersebut. Pondasi yang kuat dan cukup menarik untuk mengembangkan kisah dasar sci-fi-nya. Ender berhasil menjadi karakter yang lovable meski dengan berbagai kekurangan-kekurangannya yang manusiawi.
Menganalisa lebih dalam lagi, EG ternyata menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang lebih substansial daripada yang terlihat dari permukaannya. Iya, EG lebih merupakan film yang mempertanyakan, ketimbang memberi jawaban kepada penonton. And that’s good karena penonton tak hanya didikte, tetapi juga diajak untuk berpikir dan berkesimpulan sendiri. Belum lagi, ternyata pertanyaan-pertanyaan yang divisualisasikan disusun dengan rapi dan berhasil mencapai klimaksnya menjelang akhir. Once again, dengan mudah penonton dibuat bersimpati sebesar-besarnya terhadap karakter Ender. Gavin Hood yang merangkap sutradara sekaligus penulis naskah, harus diberi apresiasi tertinggi di sini. Tak hanya berhasil merangkum dua novel menjadi bahasa gambar yang cukup mewakili cerita (dari kacamata saya, yang bukan pembaca novelnya), namun ia juga berhasil memvisualisasikannya dengan menawan serta dialog-dialog cerdas pun efektif yang memorable. Tak heran jika debut sineas asal Afrika Selatan ini, Tsotsi berhasil meraih Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film of the Year tahun 2006.

The Casts

Siapa sangka si Hugo Cabre, Asa Butterfield, ternyata salah satu aktor muda yang patut diperhitungkan kiprahnya? Asa berhasil menghidupkan karakter Ender dengan berbagai dilematis karakternya yang cukup kompleks dan tidak mudah dibawakan. Hailee Steinfeld juga diberi porsi karakter yang cukup untuk melebihi kharisma karakter Mattie Ross di True Grit. Kita tunggu saja peningkatan karir yang bakal cukup signifikan setelah memerankan Juliet di versi terbaru Romeo & Juliet.
Sementara di jajaran cast senior, Harrison Ford dan Ben Kingsley sudah tidak perlu diragukan lagi. Ford belum kehilangan kharismanya dan Kingsley juga menjadi sangat memorable meski porsi perannya tak begitu banyak. Sayang hanya Viola Davis yang karakternya harus mengalah secara porsi dengan karakter-karakter lain, meski sudah sesuai dengan kebutuhan naskah. Abigail Breslin juga terasa sedikit mubazir karena porsi karakter Valentine yang tak hanya kurang banyak, tetapi juga kurang kuat. Semoga saja ia diberi porsi lebih di sekuelnya kelak.
Di jajaran cast pendukung, beruntung masing-masing punya karakter yang menarik, sehingga meski porsinya tak begitu banyak, namun cukup berhasil menancap di ingatan saya. Sebut saja Aramis Knight, pemeran Bean, Suraj Partha, pemeran Alai, Conor Carroll, pemeran Bernard, dan bahkan Moises Arias, pemeran Bonzo. Mereka harus sangat berterima kasih pada naskah Hood yang memberi mereka karakter serta adegan menarik.

Technical

Sebenarnya tak ada yang baru dari segi teknis, namun naskah dari Hood berhasil membuat adegan-adegan biasa menjadi lebih menarik. Sebut saja seperti adegan latihan di zero gravity dan penampakan ratu kaum Formic. Bahkan adegan dialog di atas sampan yang terlihat biasa menjadi menarik, mengingat setting masa depan yang terasa begitu kontras.
Yang patut saya apresiasi lebih adalah score dari Steve Jablonsky yang tak hanya berhasil menghidupkan emosi tiap adegan, namun juga terdengar stand-out. Begitu pula detail sound effect yang terpompa rapi dan dahsyat pada tiap kanal surround.

The Essence

Seperti yang sudah saya tulis di segmen overview, EG melontarkan banyak pertanyaan bagi penonton untuk direnungkan. Terutama sekali adalah bagaimana kita didoktrin untuk menjadi paranoid terhadap hal-hal yang selama ini tidak kita ketahui. Formic dipandang sebagai alien yang berniat menguasai bumi dan harus dihancurkan demi utuhnya bumi (atau alam semesta kita) sebagai habitat manusia, sama seperti gambaran alien dalam film-film sci-fi selama ini. Bagaimana jika sebenarnya mereka (Formic dan alien-alien lainnya) sebenarnya sama saja dengan kita, manusia bumi? Kita mencari planet alternatif untuk ditinggali karena bumi sudah terlalu sesak. Mereka pun sama, mencari planet lain, yang apparently mereka menemukan bumi. Sebuah pemikiran paranoid yang akhirnya teraplikasi pada pola pikir kita (orang US lebih tepatnya) terhadap bangsa atau negara tertentu.
Karakter Ender pun mewakili generasi muda cerdas yang dimanfaatkan negara untuk tujuan politisnya, tanpa memikirkan dampak perkembangan psikologis ke depannya. Saya sepakat dengan pendapat seorang teman yang menganggap karakter Colonel Graff dan Major Gwen Anderson mewakili peran ayah dan ibu dalam perkembangan kepribadian anak (dalam hal ini para siswa, terutama Ender) yang seharusnya seimbang. Beruntung Ender lebih cerdas dan punya pendirian yang kuat sehingga mampu mengambil keputusan sendiri. That’s why he’s so lovable!

They who will enjoy this the most

  • Deep-thoughtful audiences
  • Sci-fi adventure enthusiasts
  • General audiences who seek for crispy entertainment
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.