4.5/5
Action
Adventure
Alien
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Drama
Franchise
Personality
Politic
Pop-Corn Movie
Psychological
SciFi
Teen
The Jose Movie Review
War
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Ender's Game
Overview
Sci-fi
agaknya memang menjadi genre yang mendominasi tahun 2013 ini. Menarik, setelah
beberapa tahun film Hollywood hanya diramaikan oleh kisah-kisah superhero dan
mitologi yang sudah diperas habis-habisan sedemikian rupa hingga mencapai titik
jenuhnya. Gladly, most of the sci-fis this year were above average. Bahkan ada
beberapa judul yang berhasil menjadi sci-fi terbaik sepanjang satu dekade
terakhir. Jujur, awalnya dari sekian banyak judul film sci-fi yang rilis tahun
ini, Ender’s Game (EG) bukanlah
termasuk yang menarik minat saya. Membaca premise dan melihat dari trailer, EG
dipromosikan sebagai kisah sci-fi human vs alien biasa. Kalau pun terlihat
unsur “the chosen one”, promo-promonya tampak biasa-biasa saja. Mungkin hanya jajaran
cast berkualitas yang berhasil sedikit menggelitik rasa penasaran saya.
But hey, I
gave it a chance and suprisingly, EG has stolen my heart! Saya tidak peduli apa
kata orang, terutama yang berasal dari penggemar novelnya. It’s very very good
in most of its aspects. Mari kita mulai melihat dari kacamata film sci-fi
manusia vs alien biasa. EG memang tidak begitu tertarik untuk memamerkan adegan
laga seru dan berdarah-darah ala Prometheus
atau Starship Troopers. Bahkan kita
hanya akan disuguhi pertarungan dengan bermodalkan strategi brilian yang
dikontrol dari dalam pesawat luar angkasa. Tapi jangan salah, ke-brilian-an
karakter Ender dalam berstrategi jauh lebih menarik daripada pertarungan kontak
fisik langsung seperti kebanyakan action sci-fi. Beberapa adegan latihan di
tiap tingkatan sekolah disuguhkan satu per satu tanpa terasa membosankan,
berkat visualisasi strategi yang berbeda-beda dan menarik untuk disimak.
Lanjut kita
lihat EG lebih dalam lagi, yaitu dari segi pengembangan karakter, terutama
karakter utama, Ender Wiggin. Di sinilah letak kekuatan utama EG versi film
sehingga berhasil menjadi sebuah kisah yang sangat kuat. Ia tak hanya membuat
karakter Ender sebagai “the chosen one” biasa yang entah bagaimana tiba-tiba
muncul sebagai karakter dengan predikat tersebut, seperti layaknya Anakin
Skywalker di franchise Star Wars Saga, Harry Potter di franchise Harry Potter, Neo di franchise The Matrix, atau Katniss di franchise The Hunger Games. Secara detail namun
tak bertele-tele, Gavin Hood menuliskan karakter Ender dengan alasan yang jelas
kenapa ia menjadi “the chosen one”, jauh sebelum cerita menobatkan dia predikat
tersebut. Pondasi yang kuat dan cukup menarik untuk mengembangkan kisah dasar
sci-fi-nya. Ender berhasil menjadi karakter yang lovable meski dengan berbagai
kekurangan-kekurangannya yang manusiawi.
Menganalisa
lebih dalam lagi, EG ternyata menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang lebih substansial
daripada yang terlihat dari permukaannya. Iya, EG lebih merupakan film yang
mempertanyakan, ketimbang memberi jawaban kepada penonton. And that’s good
karena penonton tak hanya didikte, tetapi juga diajak untuk berpikir dan
berkesimpulan sendiri. Belum lagi, ternyata pertanyaan-pertanyaan yang divisualisasikan
disusun dengan rapi dan berhasil mencapai klimaksnya menjelang akhir. Once
again, dengan mudah penonton dibuat bersimpati sebesar-besarnya terhadap karakter
Ender. Gavin Hood yang merangkap sutradara sekaligus penulis naskah, harus
diberi apresiasi tertinggi di sini. Tak hanya berhasil merangkum dua novel
menjadi bahasa gambar yang cukup mewakili cerita (dari kacamata saya, yang
bukan pembaca novelnya), namun ia juga berhasil memvisualisasikannya dengan
menawan serta dialog-dialog cerdas pun efektif yang memorable. Tak heran jika debut sineas asal Afrika Selatan ini, Tsotsi berhasil meraih Oscar untuk
kategori Best Foreign Language Film of the Year tahun 2006.
The Casts
Siapa sangka
si Hugo Cabre, Asa Butterfield, ternyata salah satu aktor muda yang patut
diperhitungkan kiprahnya? Asa berhasil menghidupkan karakter Ender dengan
berbagai dilematis karakternya yang cukup kompleks dan tidak mudah dibawakan.
Hailee Steinfeld juga diberi porsi karakter yang cukup untuk melebihi kharisma
karakter Mattie Ross di True Grit.
Kita tunggu saja peningkatan karir yang bakal cukup signifikan setelah
memerankan Juliet di versi terbaru Romeo
& Juliet.
Sementara di
jajaran cast senior, Harrison Ford dan Ben Kingsley sudah tidak perlu diragukan
lagi. Ford belum kehilangan kharismanya dan Kingsley juga menjadi sangat memorable
meski porsi perannya tak begitu banyak. Sayang hanya Viola Davis yang
karakternya harus mengalah secara porsi dengan karakter-karakter lain, meski
sudah sesuai dengan kebutuhan naskah. Abigail Breslin juga terasa sedikit
mubazir karena porsi karakter Valentine yang tak hanya kurang banyak, tetapi
juga kurang kuat. Semoga saja ia diberi porsi lebih di sekuelnya kelak.
Di jajaran
cast pendukung, beruntung masing-masing punya karakter yang menarik, sehingga
meski porsinya tak begitu banyak, namun cukup berhasil menancap di ingatan
saya. Sebut saja Aramis Knight, pemeran Bean, Suraj Partha, pemeran Alai, Conor
Carroll, pemeran Bernard, dan bahkan Moises Arias, pemeran Bonzo. Mereka harus sangat
berterima kasih pada naskah Hood yang memberi mereka karakter serta adegan menarik.
Technical
Sebenarnya
tak ada yang baru dari segi teknis, namun naskah dari Hood berhasil membuat adegan-adegan
biasa menjadi lebih menarik. Sebut saja seperti adegan latihan di zero gravity
dan penampakan ratu kaum Formic. Bahkan adegan dialog di atas sampan yang
terlihat biasa menjadi menarik, mengingat setting masa depan yang terasa begitu
kontras.
Yang patut
saya apresiasi lebih adalah score dari Steve Jablonsky yang tak hanya berhasil
menghidupkan emosi tiap adegan, namun juga terdengar stand-out. Begitu pula
detail sound effect yang terpompa rapi dan dahsyat pada tiap kanal surround.
The Essence
Seperti yang
sudah saya tulis di segmen overview, EG melontarkan banyak pertanyaan bagi
penonton untuk direnungkan. Terutama sekali adalah bagaimana kita didoktrin
untuk menjadi paranoid terhadap hal-hal yang selama ini tidak kita ketahui.
Formic dipandang sebagai alien yang berniat menguasai bumi dan harus
dihancurkan demi utuhnya bumi (atau alam semesta kita) sebagai habitat manusia,
sama seperti gambaran alien dalam film-film sci-fi selama ini. Bagaimana jika
sebenarnya mereka (Formic dan alien-alien lainnya) sebenarnya sama saja dengan
kita, manusia bumi? Kita mencari planet alternatif untuk ditinggali karena bumi
sudah terlalu sesak. Mereka pun sama, mencari planet lain, yang apparently
mereka menemukan bumi. Sebuah pemikiran paranoid yang akhirnya teraplikasi pada
pola pikir kita (orang US lebih tepatnya) terhadap bangsa atau negara tertentu.
Karakter
Ender pun mewakili generasi muda cerdas yang dimanfaatkan negara untuk tujuan
politisnya, tanpa memikirkan dampak perkembangan psikologis ke depannya. Saya
sepakat dengan pendapat seorang teman yang menganggap karakter Colonel Graff
dan Major Gwen Anderson mewakili peran ayah dan ibu dalam perkembangan
kepribadian anak (dalam hal ini para siswa, terutama Ender) yang seharusnya
seimbang. Beruntung Ender lebih cerdas dan punya pendirian yang kuat sehingga
mampu mengambil keputusan sendiri. That’s why he’s so lovable!
They who will enjoy this the most
- Deep-thoughtful audiences
- Sci-fi adventure enthusiasts
- General audiences who seek for crispy entertainment