The Jose Movie Review - Hugo (in 3D)


Overview
First of all, ketika melihat posternya pasti banyak yang terkecoh mengira bahwa Hugo adalah sebuah film animasi motion-capture seperti halnya Polar Express atau A Christmas Carol versi Zemeckis. Well, ini adalah murni film live-action. Ini juga bukan film petualangan fantasi yang menjual impian penuh keajaiban. Ini adalah film drama dimana segala yang ada di film ini sangat realistis dan menyimpan filosofi hidup yang menarik.
Bagi saya, Hugo adalah sebuah cerita indah tentang pencarian tujuan hidup yang dianalogikan dalam dunia machinery, khususnya mesin jam. Tidak hanya sampai di sana, saya cukup terkejut dan terbelalak ketika Hugo menunjukkan sisi “Cinema Paradiso”-nya. Jika sebelumnya saya menganggap The Artist adalah the ultimate tribute to a true movie magic, ternyata Hugo berhasil memberikan lebih banyak dan lebih besar. Tak heran jika lantas Hugo menjadi kandidat terberat bagi The Artist. Kalau saja saya menjadi anggota Academy, saya akan vote Hugo ketimbang The Artist. Bukan karena The Artist lebih jelek lho, cuma preferensi pribadi saja.
Keajaiban sinema” yang saya maksud di sini bukanlah tentang bagaimana pencapaian teknologi visual efek yang membuat penonton terkagum-kagum, karena kecanggihan visual efek bukanlah jualan utama di sini seperti halnya Avatar. Keajaiban yang ditawarkan di sini lebih sederhana dan jauh lebih realistis ketimbang “keajaiban” yang ditawarkan Hollywood beberapa tahun belakangan ini. Keajaiban yang saya maksud adalah “keajaiban” gambar bergerak yang mampu membuat penontonnya tergerak, bisa tertawa, merasakan ketegangan, atau sedih. “Keajaiban” seperti itulah yang ditawarkan oleh generasi-generasi awal sinema seperti yang ditampilkan di beberapa bagian film ini. Tak pelak, “keajaiban sinema” tersebut yang seringkali mengubah dan menginspirasi banyak individu di dunia. The real cinematic magic.
Ada yang merasa film ini terasa begitu lambat dalam bertutur, tapi saya pribadi tidak begitu merasakannya. Mungkin saja mereka yang merasakan kebosanan karena salah ekspektasi. Saya sendiri merasa memang ada beberapa bagian yang terkesan diulur-ulur atau bertele-tele. Misalnya ketika adegan Papa Georges melihat kembali karyanya yang hilang, sebenarnya mungkin film sudah cukup untuk menyampaikan gagasannya, tapi ternyata masih ada adegan-adegan lain di belakangnya, seperti Hugo yang berusaha membawa automaton yang dimilikinya kepada Papa Georges, Station Inspector yang akhirnya, diputarnya lagi film-film Papa Georges yang sempat hilang untuk umum, dan epilog dari Isabelle tentang konklusi film. Terasa terlalu bertele-tele? Awalnya saya berpikir “iya”, tapi lantas saya menyadari semua itu bukan tanpa alasan. Misalnya adegan Station Inspector yang mulai berubah menunjukkan betapa Hugo tidak hanya berhasil “memperbaiki” Papa Georges, tapi juga si Station Inspector. Diputarnya lagi film-film Papa Georges juga menjadi bonus tersendiri bagi saya yang menggilai dunia sinema, lebih dari sekedar sebagai hiburan semata. Apalagi ditampilkan dalam format 3D yang memanjakan mata. Thanks Scorsese, it's been one of my best cinematic experiences!
Casts
Semua cast utamanya berhasil mengisi peran masing-masing dengan baik. Tentu saja yang menjadi perhatian penonton adalah Sacha Baron Cohen yang memerankan karakter Station Inspector. Di sini seolah-olah ia membuktikan diri mampu memerankan karakter serius tapi tetap sama menariknya dengan karakter Borat atau Brűno. Asa Butterfield dan Chloë Grace Moretz tampil memukau sebagai anak-anak yang tidak lugu tapi juga belum begitu dewasa.
Sementara Sir Ben Kingsley dan Helen McCrory (sebelumnya pernah memerankan Narcissus Malfoy, ibunda Draco, di franchise Harry Potter) menunjukkan performa yang tak kalah luar biasanya. Walau usia karakternya tak lagi muda dan porsinya juga tak banyak, kharisma karakternya menjadi memorable bagi penonton (setidaknya bagi saya).
Technical
3D yang ditawarkan Hugo menurut saya adalah yang terbaik untuk tahun 2011 (dan mungkin juga untuk tahun 2012). Saya sangat terkesan dengan adegan pembuka yang membuat penonton seolah-olah terbang menyusuri stasiun kereta api, moncong Maximillian, wajah Station Inspector, dan detail mesin-mesin jam yang begitu nyata dan mengagumkan. Bahkan James Cameron pun mengakui karya 3D pertama Scorsese ini adalah sebuah masterpiece yang sayang untuk dilewatkan.
Faktor teknis yang lainnya seperti score, sound effect, visual effect, dan cinematography, tidak perlu diragukan lagi. Semuanya menunjang “kesempurnaan” sinematik Hugo. Score khas ala Parisien begitu menyatu dengan adegan. Perubahan mood score sama sekali tidak terasa kasar atau terlalu signifikan. Sound effect memanfaatkan fasilitas surround secara maksimal. Suara tick-tock jam pun terdengar sangat nyata, jernih, dan kuat. Sementara dari sisi cinematography, masih perlukah saya memuji tone-warna yang genuine dan sangat kuat tersebut? Everything's perfect in technical.
Sayang Hugo tidak begitu memperhatikan detail continuity. Setidaknya ada dua kesalahan continuity yang terlihat dengan sangat jelas, yakni ketika Maximillian hendak menangkap seorang anak terlantar tak dikenal di stasiun (bukan Hugo) dan posisi kunci yang tergeletak di rel kereta api di dalam mimpi Hugo. Untung saja tidak begitu mempengaruhi mood menonton saya.
The Essence
Seperti kata Hugo kepada Isabelle, “Semua spare part yang ada di dalam mesin jam memiliki fungsi, tidak ada yang berfungsi sebagai pengganti.” Itulah tujuan kenapa kita hidup. Hanya tergantung dari kita saja apakah mau terus mencari tahu atau hanya hidup puas dengan apa yang dimiliki sekarang.
Lihat data film ini di IMDB.
Diberdayakan oleh Blogger.