The Jose Movie Review - Dilema


Overview
Omnibus akhir-akhir ini menjadi trend di perfilman Indonesia. Setelah tahun lalu ada Jakarta Maghrib karya Salman Aristo yang berhasil merangkum ragam kejadian sehari-hari di Jakarta yang bisa jadi cermin sekaligus perenungan, kali ini Wulan Guritno yang selama ini kita kenal sebagai aktris, mencoba untuk memproduksi film layar lebar pertamanya melalui PH WGE bersama sang suami, Adilla Dimitri. Tak tanggung-tanggung, proyek pertamanya ini melibatkan 4 sutradara : Robby Ertanto, Rinaldy Puspoyo, Robert Ronny, dan Adilla Dimitri sendiri, yang masing-masing menangani sebuah fragmen. Walau sebuah omnibus, namun setiap fragmen tidak hadir satu demi satu secara bergantian seperti layaknya Jakarta Maghrib atau Cinta Setaman. Semua fragmen yang ada berjalan secara paralel, jadi secara keseluruhan tetap tampak seperti satu film yang utuh.
Di atas kertas secara premis, Dilema punya materi yang sangat menarik untuk diangkat, yakni kehidupan dunia underground Jakarta yang diwakili oleh karakter seorang penguasa dunia hitam Jakarta, raja judi underground, gadis broken, polisi yang baru saja ditransfer dari luar kota, dan anggota ormas ekstrimis salah satu agama. Kesemuanya ini nantinya dipertemukan dalam sehelai benang merah yang sama.
Tidak mudah memang menyatukan berbagai cerita menjadi satu kesatuan. Salah satu yang menjadi kendala adalah sulitnya menyeimbangkan tiap fragmen sehingga tidak ada yang di-anak-tirikan dan hanya sekedar tempelan. Nah, ternyata kendala inilah yang menjadi permasalahan utama dari Dilema. Di mata saya, fragmen The Gambler, The Hardline, dan The Big Boss terasa sekali lebih dominan ketimbang The Officer dan Rendezvous. Misalnya pada fragmen The Gambler, terasa sekali karakter Sigit (Slamet Rahardjo) begitu menarik dari segi perkembangan karakter dan pergulatannya. Sementara di fragmen The Officer, hubungan antara Ario (Ario Bayu) dan Bowo (Tio Pakusadewo) terasa hambar dan konflik yang ada seperti mentah sekali. Padahal jika mau digarap dengan porsi yang lebih, keduanya bisa semenarik Denzel Washington dan Ethan Hawke di Training Day.
Begitu juga dengan fragmen Rendezvous dan The Hardline yang awalnya menarik dan berjalan baik namun tidak begitu jelas dan kurang mendalam di akhir. Semua ke-tanggung-an fragmen di sini pada akhirnya kurang memberikan kesan bagi penonton ketika film berakhir. Ada fragmen yang diakhiri dengan baik, namun di fragmen lain terasa janggal dan tidak jelas. Cukup disayangkan karena sebenarnya semua unsur lainnya digarap dengan baik dan serius.
Casts
Melihat daftar cast-nya saja kita tidak perlu meragukan lagi bagaimana kualitas akting yang ada di sini. Mulai yang senior seperti Ray Sahetapy, Slamet Rahardjo, Roy Marten, Jajang C. Noer, hingga aktor-aktor muda yang sudah banyak mendapatkan pujian dari segi akting, seperti Reza Rahadian, Ario Bayu, Lukman Sardi, Winky Wiryawan, Baim Wong, Abimana Aryasatya, dan Pevita Pearce. Tapi kalau saya harus menyebutkan satu peran yang paling menarik, saya akan menjawab Wulan Guritno yang benar-benar tampil beda dengan dandanan ala butchy (lesbian yang memiliki role sebagai pria-nya). Tak hanya dandanan, dari gesture dan cara bicaranya sama sekali tidak menunjukkan indikasi bahwa itu adalah seorang Wulan Guritno. Winky Wiryawan dan Baim Wong juga menampilkan performa yang berbeda ketimbang peran-peran mereka biasanya.
Sementara Slamet Rahardjo beruntung diberikan perkembangan karakter yang paling baik dan porsinya cukup banyak sehingga ia bisa tampak menonjol bersama fragmen-nya ketimbang yang lain.
Technical
Dilema adalah proyek yang digarap dengan serius dan sangat baik dari segi teknik. Sinematografi dan score menjadi kekuatan yang berhasil menggiring cerita menjadi terasa lebih menarik. Tak heran, sinematografernya saja Yudi Datau dan komposernya Tya Subyakto yang sudah memiliki reputasi yang baik di perfilman nasional. Walau score-nya tidak seunik Bemby Gascaro dkk., tapi setidaknya cukup bisa membangun suasana tegang, haru, dan menyentuh.
Dari segi editing, walau ada beberapa pergantian scene yang terasa sekali lompatan-lompatan fragmen-nya sehingga menjadikan agak kurang nyaman diikuti, tapi setidaknya secara keseluruhan penonton masih bisa menangkap benang merah yang terjalin antara kesemua fragmen yang ada tanpa terasa bingung.
The Essence
Life will find its way. Tagline ini sudah cukup menjelaskan esensi yang ingin diangkat. Hidup penuh dengan pilihan dimana tiap pilihan itu memiliki konsekuensi yang berbeda dan ke sanalah hidup akan membawamu. Apakah akan menemukan kembali kedamaian dengan anggota keluarga yang sempat hancur akibat kesalahan masa lalu, atau justru malah kehilangan orang-orang terdekat yang disayangi? The choice is in each of us.
Lihat data film ini di IMDB.
Lihat situs resmi dan halaman wiki film ini.
Diberdayakan oleh Blogger.