3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Franchise
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review - Sherlock Holmes - A Game of Shadows

Guy Ritchie adalah salah satu sutradara Hollywood favorit saya karena ciri-ciri khas dalam film-filmnya, seperti Lock, Stock, and Two Smoking Barrels, Snatch, dan Rock n’ Rolla. Agak kaget juga ketika pertama kali tersiar kabar bahwa ia akan menyutradarai film pertama dari franchise modern Sherlock Holmes (SH), mengingat filmografi sebelumnya bukan tipikal film mainstream. Ketika melihat hasilnya, Ritchie terbukti cukup berhasil membawa kisah SH menjadi menarik untuk diikuti, dengan gayanya sendiri. Tidak seidealis biasanya sih, tapi masih di atas rata-rata tipikal film mainstream Hollywood. Dua tahun kemudian, Ritchie kembali menangani sekuelnya yang diberi sub-judul A Game of Shadows (GOS). Sounds cheesy sih menurut saya, tak heran jika saya sering salah menyebutnya menjadi The Book of Shadows, sub-judul sekuel The Blair Witch Project. Namun dengan promo yang cukup gencar dan review positif yang lebih banyak saya temui ketimbang negatifnya, saya menjadi semangat menyaksikannya dengan ekspektasi yang cukup tinggi.
Saya cukup menyesal sudah mengeset ekspektasi yang terlalu tinggi. Begitu film berakhir, saya hanya bisa bergumam dalam hati, “well, it's not that good anyway. I still like the first better.” Entah, saya juga tidak bisa mengerti bagaimana pendapat saya bisa berbeda sekali dengan penonton lain yang bahkan menyebutnya sebagai film terbaik tahun 2011.
Baiklah, saya akan memulai dengan hal positifnya dulu saja yah. Di installment ini, hubungan dan kedekatan emosi antara Holmes dan Watson mengalami peningkatan ketimbang sebelumnya. Kita bisa merasakan sekali hubungan persahabatan yang unik dan mendalam antara keduanya di sini. Selain itu, karakter Holmes sendiri terlihat lebih menarik dan lebih cerdas ketimbang di seri sebelumnya. Tentu saja hal ini turut dipengaruhi oleh kemampuan akting Robert Downey Jr. Bagi fans berat SH yang orisinil mungkin banyak yang tidak menyukai karakter Holmes versi Ritchie yang ke-Jack Sparrow-Jack Sparrow-an. Berbeda sama sekali dengan versi novelnya. Saya pribadi sih tidak keberatan, walau saya juga menyetujui dengan keluhan, “kenapa sih karakter-karakter jaman sekarang harus menjadi seperti Jack Sparrow supaya menarik?”.
Sama seperti installment sebelumnya, GOS juga menghadirkan ciri khas Ritchie : detail adegan yang diextreme-expose, seperti misalnya adegan penembakan meriam yang ditampilkan tiap detail langkah-langkahnya. Untuk gaya yang satu ini tidak mengganggu saya sih. Ada juga teori analisis dari Holmes yang disampaikan dalam bentuk adegan. Nah, gaya yang terakhir ini memiliki kelemahan buat penonton, apalagi jika pace keseluruhan film tergolong cepat. Bisa-bisa membingungkan penonton untuk membedakan mana yang benar-benar terjadi, mana yang hasil analisis Holmes. Nah iya, pace keseluruhan film adalah kelemahan utama film, terlalu cepat buat saya dan sepanjang film di-treatment dengan pace yang sama, yang pada akhirnya melelahkan buat saya. Bukannya saya tidak bisa mengikuti alurnya karena walau sempat bingung di beberapa adegan, saya mengerti bagaimana keseluruhan alurnya di akhir cerita. Hanya saja saya merasa kelelahan dan terkadang sampai pada titik jenuh untuk mengikutinya. Kesannya sih cerdas yah, tapi kalau diteliti dialog-dialog battle of wits yang terkesan cerdas antara Holmes dan Moriarty sebenarnya biasa saja, justru mengarah ke “bertele-tele”. Untung saja Ritchie membungkusny dengan balutan adegan-adegan aksi dan ledakan yang juga cepat sehingga penonton yang tidak begitu mempedulikan detail alur cerita tetap bisa terhibur.
Saya juga merasakan ada banyak plothole, terutama ketika saya berusaha merunut alurnya kembali setelah film selesai. Namun lebih baik saya tidak menjabarkannya di sini supaya tidak menjadi spoiler buat yang belum nonton.
Kelemahan di alur mampu ditutupi dengan baik oleh performa para aktornya. Selain Downey Jr. dan Law, Noomi Rapace yang angkat nama sejak Millennium Trilogy (The Girl with the Dragon Tattoo) versi asli, berhasil mencuri perhatian sepanjang film walaupun auranya masih belum bisa menggantikan aura Irene Adler (Rachel McAdams) yang di sini hanya tampil sedikit di awal film. Jared Harris sebenarnya memberikan performa terbaik sebagai Prof. Moriarty. Hanya saja karakter yang sebenarnya jenius ini gagal mengundang simpatik penonton yang sama dengan karakter villain sejenis, seperti Joker (The Dark Knight) misalnya.
Overall, kualitas GOS masih di bawah installment pertamanya. Namun sebagai hiburan murni, jika Anda tidak melibatkan intelektualitas, mungkin Anda dapat lebih menikmati “permainan bayangan” yang disuguhkan oleh Ritchie di sini. Saya sendiri masih berharap di installment berikutnya akan terjadi perbaikan terutama pada segi alurnya.
Lihat data film ini di IMDB.