Film sci-fi bertemakan bencana alam memang pernah menjadi trend di era '90-an. Puncaknya ketika Independence Day (1996), Deep Impact, dan Armageddon (sama-sama di tahun 1998) merajai box office dunia, bahkan beresonansi kuat hingga saat ini. Sutradara sekelas Steven Spielberg dan spesialis bencana, Roland Emmerich, sempat mencoba peruntungannya kembali di era 2000-an lewat War of the Worlds (2005), The Day After Tomorrow (2004) dan 2012 (2009). Meski hasil box office-nya tergolong fantastis, tapi secara resepsi kritikus maupun tingkat resonansinya hingga saat ini masih belum sekuat Independence Day dan Armageddon. Sekuel Independence Day dengan sub-judul Resurgence (2016) dan Geostorm (2017) pun belum mampu mengulang fenomenal-nya Independence Day dan Armageddon. Trend ini pun segera digantikan oleh tema young adult post-apocalypse dan waralaba superhero.
Maka apa yang ditawarkan sutradara Ric Roman Waugh (Snitch, Angel Has Fallen) dan penulis naskah Chris Sparling (Buried, ATM, Down a Dark Hall) lewat Greenland ini cukup 'berani'. Memang skala produksi dan budgetnya tak sebesar film-film sci-fi bertemakan bencana yang pernah ada (konon 'hanya' USD 35 juta, bandingkan dengan kebanyakan film serupa yang budget-nya minimal USD 100 juta), tapi ia membuktikan diri untuk tidak dipandang sebelah mata.
Terbukti meski perilisannya harus tertunda oleh pandemi global COVID-19 yang mengharuskannya langsung tayang secara video on demand lewat internet di beberapa negara, bahkan di negara asalnya sendiri, masih mampu mengumpulkan penghasilan sebesar USD 43.1 hanya dari negara-negara yang masih menayangkannya secara teatrikal. Belum ditambah penghasilan dari rilis VOD yang diperkirakan mencapai USD 32 juta (tak heran jika sempat merajai rental VOD hingga bulan Februari 2021. Total, IndieWire memperkirakan STX Films selaku distributor telah menerima keuntungan sebesar USD 60-80 juta. Sebuah pencapaian yang tak main-main, terutama di balik kendala pandemi COVID-19 yang sangat berdampak terhadap goyahnya industri film di seluruh dunia, tak terkecuali Hollywood.
Gerard Butler yang pernah bekerja sama dengan Waugh sebelumnya di Angel Has Fallen mengisi peran utama yang konon menggantikan Chris Evans. Bangku sutradara pun sebelumnya sempat ditawarkan kepada Neill Blomkamp (District 9, Elysium, dan Chappie) tapi batal karena faktor jadwal produksi. Didukung Morena Baccarin (masih ingat Vanessa di dualogi Deadpool?), si cilik Roger Dale Floyd (pemeran Danny cilik di Doctor Sleep), dan aktor veteran, Scott Glenn (The Silence of the Lambs, The Hunt for Red October). Meski tergolong terlambat karena sempat hampir setahun tutup karena pandemi COVID-19, tapi Indonesia cukup beruntung karena bisa menikmati Greenland yang memang sinematik di layar bioskop mulai 10 Maret 2021.
Seantero Amerika digegerkan oleh berita akan jatuhnya komet yang diberi nama Clarke dari luar angkasa. Semuanya menantikan fenomena alam tersebut dengan takjub tanpa menyangka bahwa ini adalah awal dari bencana global yang mampu meluluh-lantakkan kota-kota besar dalam sekejap. Seorang insinyur struktur bernama John Garrity mendadak menerima pesan kepresidenan berisi instruksi pengungsian bagi kaum-kaum terpilih, termasuk dirinya, sang istri yang sedang menjaga jarak darinya, Allison, dan sang putra yang mengidap diabetes, Nathan. Maka berangkat lah mereka ke lokasi titik kumpul untuk diberangkatkan ke bunker pengungsian yang konon terletak di Greenland.
Malang, kondisi kesehatan Nathan terbongkar sehingga mengakibatkan ketiganya urung menjadi 'kaum terpilih'. Mereka bertiga yang awalnya sempat terpisah pun harus menemukan cara tersendiri untuk menyelamatkan diri dari ancaman pecahan komet terbesar yang diperkirakan akan jatuh beberapa hari ke depan.
Dari premise-nya saya langsung membayangkan gabungan konsep antara War of the Worlds dan Impossible dengan titik berat aspek kemanusiaan yang memang sudah sangat generik di ranah fiksi ilmiah bertemakan bencana. Seperti biasa pula, ditampilkan berbagai tingkah sejauh mana umat manusia berupaya untuk menyelamatkan diri. Tak terkecuali karakter-karakter utama, John, Allison, dan Nathan yang dibuat tak sepenuhnya 'putih'.
Menariknya, ternyata Greenland tak sekadar asal menyodorkan aspek kemanusiaan ke dalam plotnya. Namun lebih jauh lagi, memberikan refleksi yang utuh tentang integritas kemanusiaan tersebut. Jika biasanya di sub-genre sejenis ditampilkan bagaimana manusia-manusia di latar terkesan egois dan bertingkah brutal demi menyelamatkan diri (yang mana sebenarnya sangat manusiawi di kondisi se-mendesak itu), kali ini karakter utamanya yang 'seharusnya' serba putih pun sempat diberikan posisi di mana mereka lah yang egois. Misalnya ketika Allison memohon kepada Mayor Breen agar dirinya dan sang putra boleh tetap ikut masuk pesawat pengungsian meski Nathan mengidap diabetes, Allison pun sempat tersontak, egonya tersentil, setelah mengetahui bahwa bahkan Mayor Breen dan 98% dari anggota militer tidak terpilih untuk ikut mengungsi. Mereka hanya menjalankan tugas secara sukarela.
Adegan-adegan yang digulirkan sepanjang film pun tak sekadar menyusun kemalangan demi kemalangan atau kebetulan demi kebetulan hingga membentuk kesatuan film yang seru dan mendebarkan, tapi lebih menjadi semacam perkembangan moral dan ego lewat rangkaian kejadian sebab-akibat yang dialami karakter-karakter sentralnya, terutama John dan Allison dari pengalaman-pengalaman serta orang-orang yang mereka temui selama berjuang menyelamatkan diri. Singkatnya bagi saya pribadi, Greenland menjadi sebuah refleksi integritas kemanusiaan yang dirangkai secara solid dan utuh. Di atas rata-rata, bahkan melebihi pencapaian konsep yang pernah disuguhkan di War of the Worlds meski sama-sama dibidik dari sudut pandang warga biasa yang tak memahami fenomena yang dialaminya secara ilmiah.
Untuk urusan memancing empati penonton pun Greenland berhasil mencapai tujuannya di berbagai momen. Tak hanya lewat pengarahan Waugh yang mampu membangun suasana yang mendukung, tapi juga penampilan para pemerannya, terutama sekali Morena Baccarin yang mencuri hati saya di banyak kesempatan lewat ekspresi wajah dan gesture-nya.
Tentu saja tak ketinggalan pula adegan-adegan aksi dahsyat yang menjadi aspek hiburan utama, lagi-lagi Waugh berhasil membuat penonton menahan nafas, mencengkeram pegangan tangan pada bangku bioskop, memicingkan mata, atau bahkan secara spontan bersumpah-serapah karena bak turut menyaksikan peristiwa-peristiwa yang tersaji di layar secara langsung. Faktor tata kamera Dana Gonzales (Snitch, Criminal), editing dari Gabriel Fleming (Deepwater Horizon, Patriots Day, Angel Has Fallen), serta desain suara yang mampu memaksimalkan fasilitas Dolby Digital 7.1 untuk menghidupkan adegan-adegan spektakulernya menjadi begitu nyata.
Di tengah lesunya film-film yang layak dinikmati di layar lebar dengan fasilitas mumpuni, Greenland jelas menjadi pilihan yang tepat meski termasuk terlambat tayang di bioskop Indonesia. Tak mengapa, bagaimana pun film sejenis ini tentu akan memberikan impact yang berbeda dibandingkan dinikmati di rumah, sekali pun dengan perangkat home video high-end. Jika punya akses ke bioskop, tentu sayang untuk melewatkan kesempatan merasakan sinematik Greenland.
Lihat data film ini di IMDb.