{Überblick}
Rambo: Last Blood

Sejak kemunculan pertama kalinya di tahun 1982 di First Blood, Rambo sudah menjadi salah satu ikon film aksi Hollywood terbesar dan paling populer di seluruh dunia, sekaligus menjadi salah satu franchise terbesar Sylvester Stallone setela Rocky. Ciri khasnya adalah kebrutalan (terutama pada jamannya) yang sejalan dengan latar belakang militernya. Angka box office yang tak pernah mengecewakan dibandingkan budget yang tergolong rendah membuatnya mampu bertahan hingga installment keempat, Rambo yang dirilis 2008 silam. 

Installment kelima sebenarnya sudah direncanakan sejak 2009. Namun perjalanan prosesnya ternyata cukup berliku meski tak sampai membuatnya berjarak hingga 20 tahun seperti yang terjadi pada installment keempatnya. Mulai pergantian ide cerita hingga penundaan karena jadwal Sly di The Expendables 2. Sempat sama sekali ditinggalkan, proyek kembali dihidupkan pada tahun 2018 dengan melibatkan kreator serial Absentia, Matthew Cirulnick yang membantu penyusunan naskah serta Adrian Grunberg (astrada di banyak film aksi Hollywood, termasuk Collateral Damage, Master and Commander: The Far Side of the World, Man on Fire, Jarhead, Apocalypto, dan Edge of Darkness, dan pernah dipercaya menyutradarai Get the Gringo) di bangku penyutradaraan. Meski sempat berujar bahwa Rambo: Last Blood (RLB) akan menjadi film Rambo terakhir Sly (tapi kemudian di lain kesempatan menyampaikan ketertarikannya untuk kembali menjelma menjadi Rambo jika installment kelima sukses secara komersial), Rambo masih punya fanbase yang setia seiring dengan brand yang masih cukup kuat dan lintas generasi. Tentu masih banyak yang tertarik untuk menyaksikan kebutralan sepak terjangnya di layar lebar. Indonesia sebagai salah satu basis fanatik yang cukup besar beruntung bisa menyaksikannya lebih dulu daripada Amerika Serikat, yaitu mulai Rabu, 18 September 2019.
Setelah berkelana sekian lama, John Rambo memilih menetap di sebuah rumah peternakan di kawasan terpencil bersama seorang wanita yang sudah dianggap saudari sendiri dan bekerja di peternakan milik ayah John seumur hidupnya, Maria, beserta putrinya yang sudah dianggap Rambo sebagai keponakannya sendiri, Gabrielle. Suatu ketika Gabrielle meminta ijin untuk menemui sang ayah kandung yang setelah pencarian sekian lama berhasil ditemukan dengan bantuan seorang teman masa kecilnya, Jezel, di Meksiko. Tentu saja Rambo dan Maria menentang rencana ini. Bersikeras menemui sang ayah kandung secara diam-diam, Gabrielle malah menjadi korban human trafficking yang dilakukan komplotan mafia besar pimpinan Hugo Martinez. Dibantu seorang wartawati yang sedang mengincar kegiatan Hugo, Carmen Delgado, Rambo turun tangan untuk menyelamatkan Gabrielle sekaligus membalas dendam dengan berbekal skill militer yang dimilikinya selama ini.
Siapa pun yang antusias dengan installment Rambo tentu mengharapkan adegan-adegan aksi yang brutal dan seru. Sayangnya RLB memanfaatkan sekitar satu jam pertamanya untuk membangun plot yang memberikan gambaran seperti apa kehidupan John Rambo yang bisa dikatakan ‘settled down’, termasuk membangun hubungan dengan Maria dan Gabrielle sebagai bekal simpati emosi penonton nantinya. Tak masalahnya sebenarnya. Malahan penting, jika berhasil. Namun rupanya naskah racikan Sly dan Cirulnick masih sangat generik. Jangankan memasukkan elemen-elemen daya tarik tambahan sebagai bumbu, plot yang serba generik itu tergarap dengan sangat dangkal dan bisa dikatakan, agak bertele-tele. Bandingkan premise serupa di installment-installment Taken, misalnya.
Saya memahami kebutuhan film untuk menjaga pace sebagai sebuah sajian aksi, tapi jika memang berniat untuk memberikan elemen-elemen drama sebagai nilai lebih, tentu perlu detail yang proper sekaligus penanganan kemasan yang layak. Grunberg nyatanya belum cukup mampu untuk membangun emosi lewat adegan-adegan dramatis (well, to be honest adegan bencana yang digunakan sebagai pembuka pun sebenarnya masih terasa hambar). Masih ditambah lagi ekspresi wajah sekaligus intonasi suara Sly sebagai Rambo yang terlihat kelewat kelelahan. Datar dan dingin. Musik ilustrasi Bryan Tyler yang terdengar sudah berusaha sekuat mungkin untuk memberi rasa lebih pada adegan-adegannya. Well, setidaknya sekedar mampu untuk membuat penonton tidak jatuh dalam lelap dan kebosanan.
Untung saja apa yang diharap-harapkan oleh penonton akhirnya tiba juga meski hanya sekitar 20-30 menit terakhir. Tone khas Rambo yang brutal bertubi-tubi dimunculkan. Agak berbeda dari kebiasaannya yang konsisten brutal disertai suasana mencekam, kali ini kebrutalannya disajikan dengan kemasan yang fun. Alih-alih dibuat meringis, penonton justru seolah diajak merayakan tiap  adegan kebrutalan Rambo terhadap para penjahatnya. Tak salah jika penonton di sekitar Anda akan kerap bersorak di bagian ini. Bak Home Alone versi super brutal. Tak ada ampun sedikit pun bagi komplotan penjahat. Pergerakan kamera Brendan Galvin yang dinamis ditambah editing Carsten Kurpanek dan Todd E. Miller yang cekatan akhirnya mampu berfungsi maksimal.

Secara keseluruhan, RLB arguably merupakan installment terburuk dari keseluruhan franchise-nya. Apalagi sebagai sebuah penampilan terakhir Sly sebagai sosok Rambo, sungguh merupakan sebuah kekecewaan. Namun faktor 20-30 menit terakhir tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. We’ll never know if this might really really be the last one. Anda tentu tidak mau melewatkan (kemungkinan) kesempatan terakhir menyaksikan sepak terjang John Rambo di layar lebar bukan?
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.