3.5/5
Australia
based on a documentary
Based on a True Event
Drama
India
patriotism
Pop-Corn Movie
terrorism
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Hotel Mumbai

Bagi bangsa India aksi terorisme di Mumbai pada 26-29 November 2008 silam mungkin menjadi tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah mereka. Bagaimana tidak, dari serangan di 12 titik di berbagai penjuru kota Mumbai telah membunuh setidaknya 174 nyawa, termasuk 9 dari 10 orang pelaku yang mengklaim berasal dari organisasi Islam radikal asal Pakistan, Lashkar-e-Taiba. The Taj Mahal Palace Hotel menjadi salah satu ikon dari peristiwa tersebut mengingat statusnya sebagai hotel legendaris dan bersejarah yang menjadi tempat menginap berbagai tokoh-tokoh dunia.
Sejumlah film sempat mengangkat peristiwa tragis ini. Mulai dari film dokumenter Terror in Mumbai (2009), film Bollywood The Attacks of 26/11 (2013), hingga film Perancis berjudul Taj Mahal (2015) yang juga sempat tayang di bioskop Indonesia. Hotel Mumbai (HM) menjadi judul terbaru yang mencoba mengangkat kisah seputar serangan tersebut dengan jajaran cast yang tergolong populer, seperti Dev Patel, Armie Hammer, Jason Isaacs, Nazanin Boniadi (dari serial Homeland dan How I Met Your Mother yang sempat tampil di Ben-Hur versi 2016), Anupam Kher (Silver Lining Playbook, M.S. Dhoni: The Untold Story, The Big Sick, dan terakhir, The Accidental Prime Minister), Natasha Liu Bordizzo (yang pernah kita lihat di The Greatest Showman), hingga legenda film dan TV Bollywood, Nagesh Bhonsle. Merupakan produksi Australia yang bekerja sama dengan Amerika Serikat dan India sendiri, penggarapan HM dipercayakan kepada Anthony Maras yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara dari film pendek Azadi dan The Palace, selaku sutradara sekaligus penulis naskah bersama John Collee (Master and Commander: The Far Side of the World dan Happy Feet).
Sepuluh orang teroris tiba-tiba menyerang berbagai penjuru kota Mumbai. Dimulai dari stasiun Chhatrapati Shivaji Maharaj Terminus hingga puncaknya di The Taj Mahal Palace Hotel yang merupakan ikon kota Mumbai. Sang pelaku tiba-tiba saja secara membabi-buta memberondong semua orang yang dilewatinya dengan peluru. Ketika sampai di The Taj Mahal Palace Hotel, kucing-kucingan dengan para korban pun dimulai. Ada David, seorang arsitek Amerika Serikat bersama sang istri yang berdarah Iran, Zahra, putranya yang masih bayi, dan sang pengasuh, Sally. Lalu ada Vasili, veteran Uni Sovyet yang berniat bersenang-senang di penthouse, serta Bree dan Eddie, sepasang backpacker yang awalnya sekedar rencana mampir ke hotel tersebut tapi harus turut terjebak dalam mimpi buruk tersebut. Untung masih ada staff hotel yang dengan cerdik dan berjiwa melayani penuh, seperti kepala chef Hemant Oberoi dan Arjun. Mereka harus bertahan dan mengikuti permainan kucing-kucingan bersama sepuluh orang teroris ini sambil menantikan bantuan dari Garda Keamanan Nasional yang berbasis di New Delhi.
HM bukanlah tipe film yang berusaha menjadi kontroversial lewat topiknya yang masih dianggap sensitif di banyak teritori bahkan hingga sekarang. Mengambil sumber utama dari film dokumenter Surviving Mumbai (2009), Maras lebih memilih untuk menghadirkan kisah-kisah kemanusiaan dari sudut pandang para korban yang tidak tahu apa-apa tapi tiba-tiba harus menghadapi serangan mengerikan. Di satu sisi, pilihan ini mungkin tak menarik perhatian penonton yang concern akan sisi-sisi politis ataupun lapisan-lapisan mendalam dari topik, tapi justru lebih menjadi daya tarik bagi penonton umum yang sekedar menginginkan sajian menghibur sambil menambah pengetahuan tentang kejadian. Gelaran adegan thriller kucing-kucingan menjadi sajian utama yang berupaya membuat penontonnya tak berani sekedar bernafas dan mungkin, meringis. Untuk tujuan ini, Maras membuktikan kepiawaiannya dalam menggarap adegan-adegan yang secara maksimal mendebarkan meski lewat teknis (terutama pergerakan kamera) yang tergolong sederhana (jika dibandingkan dengan, let’s say Don’t Breathe yang memanfaatkan pergerakan kamera rumit untuk membangun intensitasnya). Momentum adalah kunci utama yang berhasil dibangun oleh Maras, tentu saja berkat sinergi serasi antara camerawork Nick Remy Matthews, editing oleh Maras sendiri dibantu Peter McNulty, serta musik ilustrasi dari Volker Bertelmann yang meski tergolong generik di genrenya tapi tetap efektif mempercekam suasana.
Secara pembangunan plot, HM memang masih memanfaatkan berbagai (atau hampir semua) formula dasar sub-genre cat-and-mouse thriller maupun based-on-true-event terror event. Mulai dari pengenalan karakter sentral yang secukupnya (adalah pilihan bijak untuk tak berlama-lama menggali perkembangan karakter yang berpotensi kelewat bertele-tele dan membuat penonton bosan), cukup untuk sekedar membuat penonton bersimpati atas dasar kemanusiaan semata, adegan-adegan pembantaian yang brutal tapi tetap ‘menghormati’ para korban dengan tidak kelewat eksploitatif maupun frontal dalam menampilkan adegan penembakan, sosok-sosok patriotisme, hingga upaya netralisasi muatan stereotype SARA yang sensitif. Namun di atas semuanya ini, pujian terbesar sebenarnya layak dialamatkan untuk pembangunan sekaligus penjalinan plot yang saling koheren, konstan, dan rasional. Sebuah ‘senjata’ yang ampuh untuk menjaga intensitas sepanjang durasi yang mencapai 123 menit meski menjelang klimaks justru agak ‘ditekan’. Bagi saya pribadi mungkin belum semencekam No Escape (meski fiktif tapi punya tingkat intensitas yang paling gila-gilaan hingga kini), tapi lebih dari cukup. Sayangnya lagi, ia memilih momen ‘reuniting’ paska klimaks yang lembut dan terkesan bersahaja ketimbang emosional yang sebenarnya bisa menjadikan klimaks hingga rekonsiliasinya terasa jauh lebih berkesan (sebagaimana momen ‘reuniting’ The Impossible atau Hotel Rwanda).
Penampilan ensamble cast-nya sama sekali tidak mengecewakan. Meski pemilihan cast sebenarnya lebih kepada tujuan komersial, tapi setidaknya ia mampu memanfaatkan ‘aset-aset’ yang ada dengan maksimal di balik penulisan karakter-karakter yang generik. Porsi dan penampilan kesemuanya terasa serba pas.
Penggunaan footage-footage asli lebih karena sekedar faktor menambah stock shot ambience outdoor ketimbang upaya untuk semakin membuat terkesan otentik, tapi bagi saya sama sekali tidak menjadi masalah mengingat tampilan produksi secara keseluruhan sudah lebih dari cukup untuk terlihat otentik dan nyata meski pengambilan gambar banyak dilakukan di dalam studio di Australia.
Secara keseluruhan HM memang tak berniat untuk menjadi tontonan berat yang menargetkan penghargaan-penghargaan bergengsi. Ia sekedar ingin membagikan semangat positif dan patriotisme di balik serangan terorisme yang bisa terjadi di mana saja, sambil ‘menghibur’ penontonnya lewat sajian cat-and-mouse thriller yang mencekam. Untuk tujuan tersebut, dengan berbagai keterbatasan dan upaya maksimalnya di banyak departemen, HM tergolong sangat berhasil. Sayang untuk tidak dialami di layar lebar dengan fasilitas audio-visual yang mumpuni.