3/5
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Drama
Father-and-Son
History
Indonesia
Personality
Politic
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
A Man Called Ahok
Jika menggarap sebuah biopic bukanlah pekerjaan mudah, maka
tingkat kesulitannya makin bertambah ketika sosok yang diangkat adalah
politikus, apalagi jika kiprah (atau kasus)-nya masih berlangsung. Perlu
kejelian (atau lebih tepatnya, kehati-hatian) lebih agar film masih bisa punya
pengaruh tanpa terasa sebagai sebuah propaganda (kecuali jika memang diniatkan
demikian sejak awal). Ujung-ujungnya hanya akan menjadi kontroversial yang
kurang menguntungkan dalam hal peraihan penonton. Maka ketika terdengar kabar
bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih kita kenal sebagai Ahok akan
dibuatkan biopic (bahkan ada dua versi dari produksi yang sama sekali berbeda
dalam rentang waktu yang tak terlalu jauh), wajar jika di benak banyak pihak
muncul tudingan propaganda atau politisasi.
A Man Called Ahok (AMCA)
menjadi biopic Ahok yang rilis terlebih dahulu pada 8 November 2018 ini sebelum
Ahok Anak Hoki yang dijadwalkan rilis
akhir tahun ini juga. Diangkat dari novel berjudul sama karya Rudi Valinka,
AMCA digarap oleh Putrama Tuta yang kita kenal reputasi baiknya lewat Catatan Harian Si Boy dan Noah Awal Semula sementara naskah
adaptasinya disusun oleh Tuta sendiri, dibantu sang istri, Ilya Sigma, dan Dani
Jaka Sambada (Modal Dengkul, Pizza Man). Meski pemilihan Daniel
Mananta atau VJ Daniel sebagai Ahok sempat menimbulkan skeptisme dari banyak
pihak, nama-nama pendukung proyek ini sebenarnya masih cukup meyakinkan untuk
menjadi sebuah karya yang setidaknya tergarap baik, termasuk faktor jajaran
cast yang meliputi Denny Sumargo, Chew Kin Wah, Eriska Rein, Sita Nursanti,
Donny Damara, Ferry Salim, hingga jajaran cameo yang tak kalah ‘meriah’-nya.
Mulai Ade Irawan, Dewi Irawan, Ria Irawan, Yayu Unru, Arswendi Nasution, Aida
Nurmala, Verdi Solaiman, Mike Lucock, Donny Alamsyah, hingga sang penata kamera
sendiri, Yadi Sugandi.
AMCA membidik masa kecil Ahok dan bagaimana peran sang ayah,
Tjung Kim Nam, seorang pengusaha pertambangan di Desa Gantung, Belitung Timur
yang gemar menolong warga sekitar yang membutuhkan hingga seringkali
mengabaikan kebutuhan keluarganya, terhadap perkembangan sifat dan watak Ahok
hingga saat ini. Pasang surut hubungan di dalam keluarganya serta kehadiran
birokrasi pemerintahan yang kerap menyusahkan (baca: memeras) usaha ayahnya membuat Ahok sering bersitegang dengan sang
ayah. Hingga akhirnya Ahok memutuskan untuk mewujudkan cita-cita sang ayah
untuk menjadi politikus dan memberangus ‘maling-maling’ pemerintahan. Memulai
karir sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur, langkahnya untuk menjadi
Bupati Belitung Timur tentu mendapatkan hambatan dari berbagai faktor. Tak
hanya karena etnis Tionghoa yang bak aturan tak tertulis, mustahil terjadi,
tapi juga tekadnya untuk memberangus korupsi dan praktik pemerasan di tubuh
instansi pemerintah.
Meski dibuka dengan rekaman surat Ahok kepada para
pundukungnya ketika ditahan, tiga perempat film ternyata mampu menjaga fokus
cerita ke hubungan antara Ahok dan sang ayah, Tjung Kim Nam. Selain memang
punya banyak pengaruh terhadap sikap dan watak Ahok seperti saat ini, Tuta
jelas punya sensitivitas dramaturgi yang mengena tanpa harus terkesan kelewat
dramatis. Formula yang digunakan memang bukan sesuatu yang baru untuk film
biopic, tapi jika memang cocok untuk diimplementasikan ke dalam cerita dan
dibangun dengan baik serta tepat guna, tetap saja akan menghasilkan impact yang
cukup terhadap penonton. Meski guliran plot terjaga baik, rapi, dengan pace
yang terasa pas, tak kelewat lambat, juga tak sampai terjerumus ke dalam
kekelaman maupun suasana depresif, somehow film tetap terasa datar. Tak heran
jika kemudian banyak penonton yang sampai tertidur. Bisa jadi karena faktor
formula yang terlalu generik dan sering digunakan di film atau pengembangan
cerita yang bisa dikatakan tak banyak untuk mengisi durasinya. Well, setidaknya
penampilan para aktor, terutama Denny Sumargo sebagai Tjung Kim Nam muda yang
bisa dinobatkan sebagai pencapaian kualitas akting tertinggi sepanjang karirnya
sejauh ini, masih membuat film masih menarik untuk disimak.
Sayang bangunan yang masih serba layak ternyata tidak selalu
konsisten. Saya mulai dibuat mengernyitkan dahi ketika film masuk ke fase
ketika Ahok dewasa dan mulai menunjukkan ‘taring’-nya. Guliran plot mulai
terasa lompat-lompat dan dengan transisi emosi karakter Ahok yang terasa
kelewat meledak-ledak. Maksud saya, dari mana datangnya keberanian Ahok untuk
ceplas-ceplos dan melabrak sana-sini setelah sebelumnya hanya ditunjukkan Ahok
kecil sebagai ‘penonton’ tanpa reaksi berarti dari kejadian-kejadian
disaksikannya sendiri. Memang ada satu adegan titik balik dimana Ahok cilik
berani berinisiatif mengambil tindakan terhadap karyawan sang ayah, tapi saya
rasa masih kurang untuk membuat transisi karakter Ahok terasa cukup meyakinkan.
Saya pun mempertanyakan esensi mengganti pemeran ayah dan ibu
Ahok ketika tua. Maaf saja, meski sama-sama menampilkan performa yang baik tapi
saya tidak menemukan benang merah antara sosok ayah versi Denny Sumargo dan
Chew Kin Wah. Selain perbedaan fisik yang cukup signifikan, keduanya jelas
punya dua kharisma yang sama sekali berbeda dan sulit untuk bertemu di titik
tengah. Ini sangat disayangkan mengingat porsi karakter ayah Ahok sejatinya
jauh lebih banyak dan penting dalam film ketimbang sosok Ahok sendiri. Begitu
juga Cibun (ibu Ahok) ketika diperankan Sita Nursanti yang tak terasa sedang
melanjutkan karakter yang dibawakan Eriska Rein meski tak sesignifikan sang
ayah. Melihat karakter Koh Asun yang tetap diperankan oleh Ferry Salim
sepanjang film, agaknya penggantian pemeran ini tak terlalu punya esensial
selain justru mendistraksi simpati penonton.
Inkonsistensi makin menjadi-jadi ketika film menutup dengan
konklusinya. Lagi-lagi pembacaan surat Ahok kepada para pendukungnya
dikumandangkan dengan menampilkan sosok wanita yang jelas-jelas merujuk kepada
Veronika, mantan istri Ahok. Saya bingung dengan keputusan menutup film dengan
adegan ini. Esensinya apa? Jika sekedar ingin menggambarkan pengaruh sang ayah
terhadap sosok Ahok, seharusnya sudah cukup sampai Ahok berhasil terpilih
sebagai Bupati Belitung Timur. Menampilkan sosok Veronica justru membuat
guliran plot semakin kacau karena sama sekali tidak memperkenalkan sosoknya
sedikit pun. Bagi penonton yang sama sekali awam terhadap sosok Ahok (let’s say
penonton asing yang tak mengenal sosok Ahok sama sekali) tentu akan menimbulkan
pertanyaan besar akan siapa dan apa esensinya sosok tersebut? Begitu juga soal
kasus yang menimpanya hingga harus membuat surat terbuka kepada para
pendukungnya yang tiba-tiba muncul. Memang ada sedikit penyebutan ‘kasus penistaan
agama’ (sekedar itu saja, tanpa penjelasan lebih rinci lagi) di epilog tapi
tetap saja mustahil untuk membuat penonton (terutama yang sama sekali awam)
bersimpati terhadap sosok Ahok.
Inkonsistensi juga turut terjadi pada penampilan Daniel
Mananta sebagai sosok utama Ahok. Di banyak kesempatan ia memang tampil sangat
meyakinkan dalam bertransformasi menjadi sosok Ahok, terutama dari segi
gesture, cara bicara, dan suara, tapi di lain kesempatan (dan pada jumlah yang
termasuk tidak sedikit), terutama pada momen-momen emosional, replikasi Daniel
terasa terlalu dibuat-buat. Bahkan suara seraknya pun terdengar seperti
Doraemon ketimbang Ahok sendiri.
Teknis AMCA secara keseluruhan tergolong tertata baik. Yadi
Sugandi menawarkan pilihan shot dan pergerakan kamera yang tepat guna,
bersinergi baik dengan sense bercerita dengan gambar Tuta yang memang bagus.
Editing Herman Kumala Panca juga mampu mengalirkan plot secara lancar dan dalam
pace yang serba pas. Soal film yang terasa datar dan kesan lompat-lompat di
sepertiga terakhir film, termasuk konklusi, agaknya lebih karena faktor politis
(film tampak ingin sangat berhati-hati untuk menghindari kesan muatan politis
dan/atau ofensif bagi pihak-pihak tertentu) ketimbang faktor ‘kesalahan’
editor.
Desain produksi Adrianto Sinaga menyumbangkan berbagai
properti dan warna-warni yang sesuai eranya dengan paduan serasi yang cantik,
termasuk desain kostum Gemailla Gea Geriantiana dan tata rias dari Jerry
Octavianus.
Terakhir, Aghi Narottama dan Bemby Gusti menggubah musik
ilustrasi yang meski tak sampai menjadi ikonik ataupun memorable, tapi
setidaknya masih berpadu serasi dengan adegan sehingga mampu menggiring emosi
penonton. Ditambah tracklist dari nama-nama populer yang semakin memperkaya
lini audio. Mulai dari Iwa K, Monita Tahalea, Slank, Parkdrive, The Nunung CS
featuring Arie Dagienkz, Marcello Tahitoe, Alena Wu, Aray Daulay, dan tentu
saja soundtrack utama, Takis dari
NTRL sebagai penutup yang ‘menggugah semangat’ penonton (untuk mengikuti jejak
perjuangan Ahok).
Seperti yang saya sampaikan sebagai pembuka review ini, cukup
disayangkan biopic Ahok hadir ketika kiprahnya (dan juga kasusnya) masih terus
bergulir hingga kini. Belum ada konklusi yang cukup layak untuk benar-benar
disampaikan. Niatan AMCA untuk memfokuskan pada hubungan ayah-anak yang
membentuk karakter Ahok sebenarnya upaya yang tergolong baik untuk meng-counter
tuduhan polits. Bukan berarti buruk, AMCA masih sangat layak dan bahkan mungkin
bisa menggugah penonton (di luar unsur politis, tentu saja). Namun berbagai
ketidak-konsistenan di banyak lini membuat niatan baik tersebut dipertanyakan
sekaligus disayangkan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.