The Jose Flash Review
A Man Called Ahok

Jika menggarap sebuah biopic bukanlah pekerjaan mudah, maka tingkat kesulitannya makin bertambah ketika sosok yang diangkat adalah politikus, apalagi jika kiprah (atau kasus)-nya masih berlangsung. Perlu kejelian (atau lebih tepatnya, kehati-hatian) lebih agar film masih bisa punya pengaruh tanpa terasa sebagai sebuah propaganda (kecuali jika memang diniatkan demikian sejak awal). Ujung-ujungnya hanya akan menjadi kontroversial yang kurang menguntungkan dalam hal peraihan penonton. Maka ketika terdengar kabar bahwa Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih kita kenal sebagai Ahok akan dibuatkan biopic (bahkan ada dua versi dari produksi yang sama sekali berbeda dalam rentang waktu yang tak terlalu jauh), wajar jika di benak banyak pihak muncul tudingan propaganda atau politisasi.

A Man Called Ahok (AMCA) menjadi biopic Ahok yang rilis terlebih dahulu pada 8 November 2018 ini sebelum Ahok Anak Hoki yang dijadwalkan rilis akhir tahun ini juga. Diangkat dari novel berjudul sama karya Rudi Valinka, AMCA digarap oleh Putrama Tuta yang kita kenal reputasi baiknya lewat Catatan Harian Si Boy dan Noah Awal Semula sementara naskah adaptasinya disusun oleh Tuta sendiri, dibantu sang istri, Ilya Sigma, dan Dani Jaka Sambada (Modal Dengkul, Pizza Man). Meski pemilihan Daniel Mananta atau VJ Daniel sebagai Ahok sempat menimbulkan skeptisme dari banyak pihak, nama-nama pendukung proyek ini sebenarnya masih cukup meyakinkan untuk menjadi sebuah karya yang setidaknya tergarap baik, termasuk faktor jajaran cast yang meliputi Denny Sumargo, Chew Kin Wah, Eriska Rein, Sita Nursanti, Donny Damara, Ferry Salim, hingga jajaran cameo yang tak kalah ‘meriah’-nya. Mulai Ade Irawan, Dewi Irawan, Ria Irawan, Yayu Unru, Arswendi Nasution, Aida Nurmala, Verdi Solaiman, Mike Lucock, Donny Alamsyah, hingga sang penata kamera sendiri, Yadi Sugandi.
AMCA membidik masa kecil Ahok dan bagaimana peran sang ayah, Tjung Kim Nam, seorang pengusaha pertambangan di Desa Gantung, Belitung Timur yang gemar menolong warga sekitar yang membutuhkan hingga seringkali mengabaikan kebutuhan keluarganya, terhadap perkembangan sifat dan watak Ahok hingga saat ini. Pasang surut hubungan di dalam keluarganya serta kehadiran birokrasi pemerintahan yang kerap menyusahkan (baca: memeras) usaha ayahnya  membuat Ahok sering bersitegang dengan sang ayah. Hingga akhirnya Ahok memutuskan untuk mewujudkan cita-cita sang ayah untuk menjadi politikus dan memberangus ‘maling-maling’ pemerintahan. Memulai karir sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur, langkahnya untuk menjadi Bupati Belitung Timur tentu mendapatkan hambatan dari berbagai faktor. Tak hanya karena etnis Tionghoa yang bak aturan tak tertulis, mustahil terjadi, tapi juga tekadnya untuk memberangus korupsi dan praktik pemerasan di tubuh instansi pemerintah.
Meski dibuka dengan rekaman surat Ahok kepada para pundukungnya ketika ditahan, tiga perempat film ternyata mampu menjaga fokus cerita ke hubungan antara Ahok dan sang ayah, Tjung Kim Nam. Selain memang punya banyak pengaruh terhadap sikap dan watak Ahok seperti saat ini, Tuta jelas punya sensitivitas dramaturgi yang mengena tanpa harus terkesan kelewat dramatis. Formula yang digunakan memang bukan sesuatu yang baru untuk film biopic, tapi jika memang cocok untuk diimplementasikan ke dalam cerita dan dibangun dengan baik serta tepat guna, tetap saja akan menghasilkan impact yang cukup terhadap penonton. Meski guliran plot terjaga baik, rapi, dengan pace yang terasa pas, tak kelewat lambat, juga tak sampai terjerumus ke dalam kekelaman maupun suasana depresif, somehow film tetap terasa datar. Tak heran jika kemudian banyak penonton yang sampai tertidur. Bisa jadi karena faktor formula yang terlalu generik dan sering digunakan di film atau pengembangan cerita yang bisa dikatakan tak banyak untuk mengisi durasinya. Well, setidaknya penampilan para aktor, terutama Denny Sumargo sebagai Tjung Kim Nam muda yang bisa dinobatkan sebagai pencapaian kualitas akting tertinggi sepanjang karirnya sejauh ini, masih membuat film masih menarik untuk disimak.
Sayang bangunan yang masih serba layak ternyata tidak selalu konsisten. Saya mulai dibuat mengernyitkan dahi ketika film masuk ke fase ketika Ahok dewasa dan mulai menunjukkan ‘taring’-nya. Guliran plot mulai terasa lompat-lompat dan dengan transisi emosi karakter Ahok yang terasa kelewat meledak-ledak. Maksud saya, dari mana datangnya keberanian Ahok untuk ceplas-ceplos dan melabrak sana-sini setelah sebelumnya hanya ditunjukkan Ahok kecil sebagai ‘penonton’ tanpa reaksi berarti dari kejadian-kejadian disaksikannya sendiri. Memang ada satu adegan titik balik dimana Ahok cilik berani berinisiatif mengambil tindakan terhadap karyawan sang ayah, tapi saya rasa masih kurang untuk membuat transisi karakter Ahok terasa cukup meyakinkan.
Saya pun mempertanyakan esensi mengganti pemeran ayah dan ibu Ahok ketika tua. Maaf saja, meski sama-sama menampilkan performa yang baik tapi saya tidak menemukan benang merah antara sosok ayah versi Denny Sumargo dan Chew Kin Wah. Selain perbedaan fisik yang cukup signifikan, keduanya jelas punya dua kharisma yang sama sekali berbeda dan sulit untuk bertemu di titik tengah. Ini sangat disayangkan mengingat porsi karakter ayah Ahok sejatinya jauh lebih banyak dan penting dalam film ketimbang sosok Ahok sendiri. Begitu juga Cibun (ibu Ahok) ketika diperankan Sita Nursanti yang tak terasa sedang melanjutkan karakter yang dibawakan Eriska Rein meski tak sesignifikan sang ayah. Melihat karakter Koh Asun yang tetap diperankan oleh Ferry Salim sepanjang film, agaknya penggantian pemeran ini tak terlalu punya esensial selain justru mendistraksi simpati penonton.
Inkonsistensi makin menjadi-jadi ketika film menutup dengan konklusinya. Lagi-lagi pembacaan surat Ahok kepada para pendukungnya dikumandangkan dengan menampilkan sosok wanita yang jelas-jelas merujuk kepada Veronika, mantan istri Ahok. Saya bingung dengan keputusan menutup film dengan adegan ini. Esensinya apa? Jika sekedar ingin menggambarkan pengaruh sang ayah terhadap sosok Ahok, seharusnya sudah cukup sampai Ahok berhasil terpilih sebagai Bupati Belitung Timur. Menampilkan sosok Veronica justru membuat guliran plot semakin kacau karena sama sekali tidak memperkenalkan sosoknya sedikit pun. Bagi penonton yang sama sekali awam terhadap sosok Ahok (let’s say penonton asing yang tak mengenal sosok Ahok sama sekali) tentu akan menimbulkan pertanyaan besar akan siapa dan apa esensinya sosok tersebut? Begitu juga soal kasus yang menimpanya hingga harus membuat surat terbuka kepada para pendukungnya yang tiba-tiba muncul. Memang ada sedikit penyebutan ‘kasus penistaan agama’ (sekedar itu saja, tanpa penjelasan lebih rinci lagi) di epilog tapi tetap saja mustahil untuk membuat penonton (terutama yang sama sekali awam) bersimpati terhadap sosok Ahok.
Inkonsistensi juga turut terjadi pada penampilan Daniel Mananta sebagai sosok utama Ahok. Di banyak kesempatan ia memang tampil sangat meyakinkan dalam bertransformasi menjadi sosok Ahok, terutama dari segi gesture, cara bicara, dan suara, tapi di lain kesempatan (dan pada jumlah yang termasuk tidak sedikit), terutama pada momen-momen emosional, replikasi Daniel terasa terlalu dibuat-buat. Bahkan suara seraknya pun terdengar seperti Doraemon ketimbang Ahok sendiri.
Teknis AMCA secara keseluruhan tergolong tertata baik. Yadi Sugandi menawarkan pilihan shot dan pergerakan kamera yang tepat guna, bersinergi baik dengan sense bercerita dengan gambar Tuta yang memang bagus. Editing Herman Kumala Panca juga mampu mengalirkan plot secara lancar dan dalam pace yang serba pas. Soal film yang terasa datar dan kesan lompat-lompat di sepertiga terakhir film, termasuk konklusi, agaknya lebih karena faktor politis (film tampak ingin sangat berhati-hati untuk menghindari kesan muatan politis dan/atau ofensif bagi pihak-pihak tertentu) ketimbang faktor ‘kesalahan’ editor.
Desain produksi Adrianto Sinaga menyumbangkan berbagai properti dan warna-warni yang sesuai eranya dengan paduan serasi yang cantik, termasuk desain kostum Gemailla Gea Geriantiana dan tata rias dari Jerry Octavianus.
Terakhir, Aghi Narottama dan Bemby Gusti menggubah musik ilustrasi yang meski tak sampai menjadi ikonik ataupun memorable, tapi setidaknya masih berpadu serasi dengan adegan sehingga mampu menggiring emosi penonton. Ditambah tracklist dari nama-nama populer yang semakin memperkaya lini audio. Mulai dari Iwa K, Monita Tahalea, Slank, Parkdrive, The Nunung CS featuring Arie Dagienkz, Marcello Tahitoe, Alena Wu, Aray Daulay, dan tentu saja soundtrack utama, Takis dari NTRL sebagai penutup yang ‘menggugah semangat’ penonton (untuk mengikuti jejak perjuangan Ahok).
Seperti yang saya sampaikan sebagai pembuka review ini, cukup disayangkan biopic Ahok hadir ketika kiprahnya (dan juga kasusnya) masih terus bergulir hingga kini. Belum ada konklusi yang cukup layak untuk benar-benar disampaikan. Niatan AMCA untuk memfokuskan pada hubungan ayah-anak yang membentuk karakter Ahok sebenarnya upaya yang tergolong baik untuk meng-counter tuduhan polits. Bukan berarti buruk, AMCA masih sangat layak dan bahkan mungkin bisa menggugah penonton (di luar unsur politis, tentu saja). Namun berbagai ketidak-konsistenan di banyak lini membuat niatan baik tersebut dipertanyakan sekaligus disayangkan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.